Sabtu, 01 Desember 2012

STRUKTUR SUSUNAN DAN KEWENANGAN PERADILAN AGAMA


BAB  I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Permasalahan
Dalam Negara Hukum Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, keadilan, ketertiban, kebenaran dan kepastian hokum dalam sistem dan penyelenggaraan hukum merupakan hal pokok yang sangat penting dalam usaha mewujudkan suasana perikehidupan yang aman, tentram dan tertib seperti yang diamanatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara. Oleh karena itu untuk mewujudkan hal-hal tersebut dibutuhkan adanya lembaga yang bertugas untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman guna menegakan hukum dan keadilan dengan baik. Salah satu lembaga untuk menegakan hukum dalam mencapai keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum adalah badan-badan peradilan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang masing-masing mempunyai lingkup kewenangan mengadili perkara atas sengketa dibidang tertentu dan salah satunya  adalah Badan Peradilan Agama.
Peradilan Agama adalah salah satu dari empat lingkungan peradilan Negara yang dijamin kemerdekaannya dalam menjalankan tugasnya sebagaimana daitur dalam Undang-undang tentang kekuasaan kehakiman.Peradilan Agama yang kewenangannya mengadili perkara-perkara tertentu dan mengenai golongan rakyat tertentu yaitu mereka yang beragama Islam, sejajar dengan peradilan yang lain.


B.     Perumusan Permasalahan
 Berdasarkan Uraian diatas, permasalahan yang diteliti adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana susunan organisasi peradilan agama ?
2.      Bagaimana kekuasaan mengadili peradilan agama ?
3.      Bagaimana kedudukan peradilan agama ?

C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui susunan organisasi dalam peradilan agama.
2.      Untuk mengetahui kekuasaan mengadili dalam peradilan agama.
3.      Untuk mengetahui kedudukan peradilan agama.





BAB  II
PEMBAHASAN

A.     Susunan Organisasi Peradilan Agama

            Susunan hierarki peradilan agama secara instansional  diatur dalam pasal 6 UU No.7 tahun1989.Menurut ketentuan pasal ini secara instansional,lingkugan peradilan agama terdiri dari 2 tingkat :
            1.Pengadilan agama sebagai pengadilan tingkat pertama.
            2.Pengadilan tinggi agama sebagai pengadilan tingkat banding.

            Makna pengadilan agama  sebagai pengadilan tingkat pertama ialah pengadilan yang bertindak menerima,memeriksa,dan memutus setiap permohonan atau gugatan pada tahap paling awal dan paling bawah. Pengadilan agama bertindak sebagai peradilan sehari hari menampung pada tahap awal dan memutus atau mengadili pada tahap awal segala perkara yang diajukan masyarakat mencari keadilan. Tidak boleh mengajukan suatu permohonan atau gugatan langsung ke pengadilan tinggi agama. Semua jenis perkara terlebih dahulu mesti melalui pengadilan agama dalam kedudukan hierarki sebagai pengadilan tingkat pertama. Terhadap semua permohonan atau gugat perkara yang diajukan kepadanya dalam kedudukan sebagai instansi pengadilan tingkat pertama,harusn menerima,memeriksa,dan memutusnya,dilarang menolak untuk menerima,memeriksa,dan memutus perkara yang diajukan kepada nya dengan dalih apapun.Hal ini ditegas kan dalam pasal 56 yang bunyi nya : “ Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas,melainkan wajib memeriksa dan wajib memutus nya”.
            Dari pengertian pengadilan agama sebagai pengadilan tingkat pertama adalah pengadilan terbawah yang bertindak sebagai pintu gerbang penerimaan, pemeriksaan dan pemetusan setiap perkara. Perkara yang tidak lebih dulu diajukan ke pengadilan agama tidak akan pernah mendapat penyelesaian. Tidak boleh lansung di ajukan ke pengadilan yang lebih tinggi yakni Pengadilan Tinggi. Karena fungsi peradilan yang di berikan undang – undang kepada pengadilan tinggi bukan sebagai pengadilan tingkat pertama, tapi pengadilan tingkat banding.
            Pengadilan Tinggi agama kedudukannya sebagai pengadilan tingkat banding, bertindak dan berwenang memeriksa ulang suatu perkara yang diperiksa dan di putus oleh pengadilan agama, apabila pihak yang berperkara mengajukan permintaan banding.
            Susunan pengadilan agama secara horizontal berkedudukan pada setiap kota madya atau ibu kota kabupaten. Susunan horizontal pengadilan tinggi agama berkedudukan pada setiap ibu kota provinsi. Selanjutnya susunan horizontal dengan sendirinya merupakan penentuan batas kekuasaan daerah hukum masing – masing pengadilan. Daerah hukum pengadilan agama hanya meliputi daerah kota madya atau daerah kabupaten dimana ia terletak. Seluas daerah itulah kewenangan atau kompetensi relatifnya. Begitu juga daerah hukum pengadilan agama. Daerah hukum masing – masing sesuai dengan daerah provinsi dimana dia terletak. Memang pada dasarnya luas daerah hukum masing – masing pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di sesuaikan dengan daerah hukum pemerintahan kota madya atau kabupaten dan provinsi.



            Susunan Organisasi Pengadilan Agama sesuai Bab II,Bagian Pertama,Pasal 9 UU Nomor 7 tahun 1989 terdiri dari :
1. Pimpinan ;
2. Hakim Anggota ;
3. Panitera ;
4. Sekretaris dan
5. Juru Sita

            Sedangkan pada Pengadilan Tinggi Agama, terdiri dari :
1. Pimpinan ;
2. Hakim Anggota ;
3. Panitera dan
4. Sekretaris

SUSUNAN ORGANISASI PERADILAN AGAMA

KETUA
WAKIL KETUA
HAKIM
HAKIM
HAKIM
HAKIM

PAN/SEK

P.PENGGANTI
P.PENGGANTI
P.PENGGANTI
P.PENGGANTI
WAKIL SEKRETARIS
WAKIL PANITERA
JURU SITA
J.S PENGGANTI
P.MUDA BANDING/KASASI
KEUANGAN
TATA USAHA/UMUM
PERSONALIA
P.MUDA HUKUM
P.MUDA PERKARA


       I.            Syarat Pengangkatan,Pemberhentian dan Sumpah Hakim
            Menurut Pasal 11 Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu, wajar apabila undang-undang menentukan syarat, pengangkatan, pemberhentian, dan sumpah yang sesuai dengan jabatan tersebut.

A.     Pengangkatan hakim
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat pada pasal 13 ayat 1 UU Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai berikut:
·        warga negara Indonesia
·        beragama Islam
·        bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
·        setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
·        sarjana syari'ah, sarjana hukum Islam atau sarjana yang menguasai hukum Islam
·        lulus pendidikan hakim
·        mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban
·        berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 40 tahun
·        berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
·        Tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

Menurut Pasal 15 ayat 1 UU No.7 Tahun 1989, yang berwenang mengangkat hakim di lingkungan Peradilan Agama ialah Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
-         Atas usul Menteri Agama
-         Berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung
Dari prosedur ini instansi yang berwenang mengangkat hakim, terlibat tiga unsur aparat Negara. Hal ini memperlihatkan, betapa terhormat kedudukan jabatan hakim. Hingga Presiden dan Ketua Mahkamah Agung terpaksa ikut campur. Sudah selayaknya para hakim menjunjung tinggi kehormatan dan kepercayaan tersebut.
B.     Pemberhentian Hakim
      Mengenai pemberhentian hakim, sama prosedurnya dengan pengangkatan hakim. Pemberhentian hakim dilakukan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial melalui Ketua Mahkamah Agung, sebagaimana yang ditegaskan Pasal 15 ayat (1a) UU Nomor 50 tahun 2009.
      Undang-undang mengenai dua jenis pemberhentian. Setiap jenis pemberhentian didasarkan atas alasan-alasan tertentu yakni pemberhentian dengan “hormat” dan pemberhentian dengan “tidak hormat”.
a)      Pemberhentian dengan hormat
Alasan-alasan pemberhentian hakim dengan hormat dari jabatannya yang diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 50 Tahun 2009, karena:
J  Atas permintaan sendiri secara tertulis
J  Sakit jasmani atau rohani terus menerus.
J  Telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun bagi ketua, wakil ketua dan hakim pengadilan agama dan  67 (enam puluh tujuh) tahun bagi ketua, wakil ketua dan hakim pengadilan tinggi agama.
J  Ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugas.

b)      Pemberhentian Tidak Hormat
Alasan-alasan pemberhentian hakim tidak dengan hormat dari jabatannya yang diatur dalam Pasal 19 UU Nomor 50 Tahun 2009, karena:
L  Dipidana penjara  karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
L  Melakukan perbuatan tercela.
L  Terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya selama 3 bulan.
L  Melanggar sumpah atau janji jabatan.
L  Melanggar larangan rangkap.
Menurut Pasal 17, Hakim tidak boleh merangkap menjadi:
Ø  Pelaksana putusan pengadilan.
Ø  Wali pengampu, dan jabatan yang berkaitan dengan suatu perkara yang diperiksa olehnya.
Ø  Pengusaha
Ø  Tidak boleh merangkap menjadi penasihat hukum.

C.     Pengambilan Sumpah Hakim
Sebelum seorang hakim menjalankan fungsi jabatan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, wajib lebih dulu mengucapkan sumpah menurut agama islam. Lafal sumpah jabatan dirumuskan dalam Pasal 16 yang berbunyi:“Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini,langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga".
"Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala Undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia".
"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Ketua, Wakil Ketua, Hakim Pengadilan yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".

    II.            Syarat Pengangkatan,Pemberhentian dan Sumpah Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Agama
A.        Pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Agama
     Menurut pasal 13 ayat (2) UU Nomor 50 tahun 2009, seorang Hakim Pengadilan Agama baru dianggap memenuhi syarat untuk diangkat menjabat sebagai Ketua berpengalaman paling singkat 7 (tujuh) tahun sebagai Hakim Pengadilan Agama.
Pejabat yang berwenang mengangkat Hakim menjadi Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Agama ialah Ketua Mahkamah Agung.

B.        Pemberhentian Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Agama
     Pemberhentian dari jabatan Ketua atua Wakil Ketua sejalan dengan pengangkatan seperti yang diatur dalam pasal 15 ayat (2) UU Nomor 50 tahun 2009 yakni diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung.

                  
C.        Pengambilan Sumpah Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Agama
     Mengenai pengambilan sumpah Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Agama diatur dalam pasal 16 UU Nomor 3 tahun 2006.


 III.            Syarat Pengangkatan, Pemberhentian dan Sumpah Panitera Pengadilan Agama
A.     Pengangkatan Panitera
Agar seseorang dapat diangkat menjadi Panitera/ sekretaris Pengadilan Agama, calon harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan Pasal 27 UU Nomor 50 tahun 2009 :
·        Warga Negara Indonesia
·        Beragama Islam
·        Bertakwa Kepada Tuhan YME
·        Setia kepada Pancasila dan UUD 1945
·        Berijazah sarjana Syari’ah atau sarjana hukum Islam atau sarjana hukum yang yang menguasai hukum Islam.
·        Berpengalaman paling singkat 3 tahun sebagai wakil Panitera atau 5 tahun sebagai panitera muda pengadilan agama atau menjabat wakil panitera pengadilan tinggi agama.
·        Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban.

B.     Pemberhentian Panitera / Sekretaris
  Meneganai pengangkatan dan pemberhentian Panitera/sekretaris diatur dalam pasal 36 UU Nomor 7 tahun 1989. Pengangkatan dan pemberhentian dilakukan oleh Menteri Agama.

C.     Pengambilan sumpah Panitera/Sekretaris
      Sebelum memangku jabatan panitera disumpah menurut agama islam oleh Ketua Pengadilan Agama.Bunyi Sumpah Selengkapnya dirumuskan dalam pasal 37 UU Nomor 3 tahun 2006:
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga".
"Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia".
"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".

  IV.            Syarat Pengangkatan, Pemberhentian dan Sumpah Panitera Muda Pengadilan Agama
      Syarat-syarat pengangkatan, pemberhentian dan penyumpahan Panitera Muda Pengadilan Agama, sama dengan ketentuan yang berlaku kepada Panitera dan wakil Panitera. Petbedaan Cuma terletak pada maslah pengalaman kerja. Pengalaman kerja yang harus dipenuhi agar dapat diangkat sebagai Panitera Muda Pengadilan Agama, sekurang-kurangnya 3 tahun sebagai Panitera Pengganti. ( lihat pasal 30, jo 27 pasal 37)

     V.            Syarat  Pengangkatan, Pemberhentian dan Sumpah Panitera Pengganti Pengadilan Agama
      Mengenai pengangkatan panitera pengganti pengadilan agama diatur dalam pasal 33 UU Nomor 3 tahun 2006. Semua persyaratan, pengangkatan, pemberhentian panitera pengganti sama dengan ketentuan yang berlaku bagi panitera, wakil panitera, dan panitera muda. Perbedaannnya hanya terdapat pada pengalaman kerja. Agar dapat diangkat menjadi panitera pengganti pada pengadilan agama, sekurang-kurangnya mempunyai pengalaman kerja paling tidak 3 tahun sebagai pegawai negeri pada pengadilan agama.
Memperhatikan syarat-syarat yang harus dipenuhi panitera muda dan panitera pengganti, terutama mengenai syarat pendidikan yang ditentukan dalam pasal 27 huruf (e) yakni paling rendah berijazah sarjana muda syari’ah atau sarjana muda hukum, kiranya prestasi dan peningkatan kualitas kerja dan pelayanan akan dapat ditingkatkan.

  VI.            Syarat  Pengangkatan, Pemberhentian dan Sumpah Juru Sita Pengadilan Agama
A.     Syarat-syarat juru sita dan juru sita pengganti
      Ketentuan mengenai syarat-syarat juru sita diatur dalam pasal 39 UU Nomor 50 Tahun 2009, yakni:
§  Warga Negara Indonesia
§  Beragama Islam
§  Bertakwa Kepada Tuhan YME
§  Setia kepada Pancasila dan UUD 1945
§  Berijazah serendah-rendahnya sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA)
§  Berpengalaman sekurang-kurangnya 3 tahun sebagai juru sita pengganti
Syarat-syarat yang ditentukan untuk juru sita sama dengan juru sita pengganti.perbedaan terletak pada masalah pengalaman kerja. Jika untuk juru sita syarat pengalaman kerjanya minimal 3 tahun menjadi juru sita pengganti. Maka untuk juru sita pengganti, syaratnya pengalaman kerjanya minimal 3 tahun sebagai pegawai negeri pada pengadilan agama.

B.  Pengangkatan dan pemberhentian juru sita dan juru sita pengganti
Pengangkatan dan pemberhentian juru sita dan juru sita pengganti diatur didalam pasal 40 UU nomor 3 tahun 2006 :
§  Juru sita diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung atas usul ketua pengadilan agama yang bersangkutan
§  Juru sita pengganti diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Pengadilan Agama yang bersangkutan.

C.  Pengambilan sumpah juru sita dan juru sita pengganti
      Sebelum memangku jabatan juru sita dan juru sita pengganti diambil sumpah menurut agama islam oleh ketua pengadilan agama. Bunyi rumusan sumpahnya dicantumkan selengkapnya dalam pasal 41 UU Nomor 3 tahun 2006:
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga".
"Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesusatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia".

"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Juru Sita, Juru Sita Pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".

VII.            Syarat  Pengangkatan, Pemberhentian dan Sumpah Wakil Sekretaris Pengadilan Agama
A.     Syarat-syarat wakil sekretaris
      Ketentuan mengenai syarat-syarat juru sita diatur dalam pasal 39 UU No.50 Tahun 2009, yakni:
§  Warga Negara Indonesia
§  Beragama Islam
§  Bertakwa Kepada Tuhan YME
§  Setia kepada Pancasila dan UUD 1945
§  Berijazah pendidikan menengah
§  Berpengalaman paling singkat 3 tahun sebagai juru sita pengganti
§  Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban.

B.     Pengangkatan dan pemberhentian wakil sekretaris pengadilan agama
Pengangkatan dan pemberhentian sekretaris dan wakil sekretaris diatur didalam pasal 47 UU Nomor 3 tahun 2006, dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung.

C.     Pengambilan sumpah wakil sekretaris pengadilan agama
      Sebelum memangku jabatan sebagai wakil sekretaris pengadilan agama harus diambil  sumpah. Bunyi rumusan sumpahnya dicantumkan selengkapnya dalam pasal 48 UU Nomor 3 tahun 2006:
"Demi Allah, saya bersumpah :
bahwa saya, untuk diangkat menjadi Wakil Sekretaris, akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah; bahwa saya, akan mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab ; bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, Pemerintah, dan martabat Wakil Sekretaris serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan; bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan; bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara".





            SUSUNAN ORGANISASI PENGADILAN TINGGI AGAMA

I.        Syarat Pengangkatan, pemberhentian dan Penyumpahan Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama
                  Yang dimaksud hakim tinggi menurut pasal 10 ayat (3) adalah hakim anggota pada pengadilan tinggi agama. Berapa jumlah hakim tinggi pada setiap pengadilan tinggi agama, tidak ditentukan dalm undnag-undang No.7 Tahun 1989.
                  Secara realistic jumlah hakim tinggi yang ideal pada setiap pengadilan tinggi agama lebih tepat didasarkan pada patokan volume perkara. Pada pengadilan tinggi agama yang besar jumlah volume perkara, wajar untuk menempatkan hakim tinggi yang sebanding dengan jumlah perkara.

                  Menurut pengamatan dan pengalaman, terdapat perbedaan jumlah volume perkara banding anatara satu pengadilan tinggi agama yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu tidak rasional dan tidak realistik untuk menempatkan hakim tinggi yang sama jumlahnya pada setiap pengadilan tinggi agama.
A.     Syarat-syarat Hakim Tinggi
Diatur dalam pasal 14 ayat (1) jo Pasal 13 ayat (1) UU Nomor 50 tahun 2009 yang terdiri dari:
·        warga negara Indonesia
·        beragama Islam
·        bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
·        setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
·        sarjana syariah, sarjana hukum Islam atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam
·        lulus pendidikan hakim
·        mampu secara jasmani dan rohani untuk menjalankan tugas dan kewajiban
·        berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
·        Berusia paling rendah 25 tahun dan paling tinggi 40 tahun
·        Tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

B.     Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Tinggi
            Mengenai pengangkatan dan pemberhentian dari jabatan hakim tinggi, berlaku sepenuhnya ketentuan pengangkatan dan pemberhentian hakim yang diatur dalam pasal 15 UU Nomor 50 tahun2009. Dengan demikian pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan oleh Presiden selaku kepala Negara, atas usul Ketua Mahkamah Agung.
            Begitu juga dengan pemberhentian dengan hormat maupun pemberhentian tidak hormat, berlaku ketentuan umum yang diatur dalam pasal 18 dan pasal 19 UU Nomor 50 tahun 2009.
a)      Pemberhentian dengan Hormat
Dengan alasan :
J  Permintaan sendiri
J  Sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus
J  Telah berumur 65 tahun bagi ketua, wakil ketua dan hakim pengadilan agama, dan 67 tahun bagi ketua, wakil ketua dan hakim pengadilan tinggi agama.
J  Ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugas

b)      Pemberhentian dengan Tidak Hormat
Dengan alasan :
L  Dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan
L  Melakukan perbuatan tercela
L  Terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaan selama 3 bulan
L  Melanggar sumpah jabatan atau janji jabatan
L  Melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17
L  Melanggar kode etik dan pedoman prilaku hakim

C.     Pengambilan Sumpah Hakim Tinggi
Sebelum seorang hakim menjalankan fungsi jabatan sebagai Hakim Tinggi, wajib lebih dulu mengucapkan sumpah menurut agama islam. Pengambilan sumpah hakim tinggi dilakukan oleh Ketua Pengadilan Agama sesuai dengan bunyi sumpah yang dicantumkan dalam pasal 16 ayat (1) jo. Pasal 16 ayat (2) UU Nomor 3 tahun 2006.


II.                 Syarat Pengangkatan, Pemberhentian, dan Penyumpahan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama
A.     Syarat-syarat wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama
            Persyaratan pengangkatan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama, disamping harus memenuhi persyaratan umum yang diatur dalam pasal 13 UU Nomor 50 tahun 2009 ditambah dengan persyaratan yang disebut pasal 14 huruf (b), yakni harus berusia paling rendah 40 tahun, juga ditambah lagi dengan sekurang-kurangnya sudah bertugas:
o   Paling tidak 5 tahun sebagai hakim tinggi agama pada pengadilan tinggi agama.
o   Paling tidak 3 tahun sebagai hakim tinggi yang pernah menjabat sebagai ketua pengadilan agama.
B.     Pengangkatan dan pemberhentian dari jabatan Wakil ketua Pengadilan tinggi agama
            Pengangkatan dan pemberhentian Hakim berbeda dengan pengangkatan dan pemberhentian wakil ketua pengadilan tinggi agama, pengangkatan dan pemberhentian hakim berlaku “umum” untuk semua hakim tanpa kecuali dan tanpa mempersoalkan apakah dia ketua atau wakil ketua.sedangkan pengangkatan dan pemberhentian wakil ketua atau ketua adlah permasalahan khusus yang menyangkut pengangkatan dan pemberhentian dari jabatan “pimpinan” pengadilan. Hal ini diatur dalm pasal 15 ayat (2) UU Nomor 50 tahun 2009. Menurut pasal ini pengangkatan dan pemberhentian dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung.
Mengenai alasan pemberhentian apakah dengan hormat atau tidak hormat berpedoman pada ketentuan pasal 18 dan 19 UU Nomor 50 tahun 2009.

Tugas Masing-masing Organ dalam Pengadilan Agama
A. Ketua Pengadilan Agama bertugas:
1.      mengatur pembagian tugas para hakim
2.      membagikan semua berkas dan atau surat-surat lain yang berhubungan dengan perkara yang diajukan ke pengadilan kepada Majelis Hakim untuk diselesaikan
3.      menetapkan perkara yang harus diadili berdasarkan nomor urut, tetapi apabila terdapat perakara tertentu yang karena menyangkut kepentingan umum harus segera diadili maka perkara itu didahulukan.
4.      Mengawasi kesempurnaan pelaksanaan penetapan atau putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
5.      Mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim, panitera, sekretaris dan juru sita di daerah hukumnya.
6.      Mengevaluasi atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim, panitera, sekretaris dan juru sita.
B. Wakil Ketua bertugas:
·        Membantu ketua dalam tugasnya sehari-hari
·        Melaksanakan tugas-tugas ketua dalam hal ketua berhalangan
·        Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan kepadanya
C. Panitera bertugas:
§  Menyelenggarakan administrasi perkara dan mengatur tugas wakil panitera, panitera muda dan panitera pengganti
§  Membantu hakim dengan menghadiri dan mencatat jalannya sidang pengadilan, membuat putusan / penetapan majelis
§  Menyusun berita acara persidangan
§  Melaksanakan penetapan dan putusan pengadilan
§  Membuat semua daftar perkara yang diterima kepaniteraan
§  Membuat salinan atau turunan penetapan atau putusan pengadilan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
§  Bertanggung jawab kepengurusan berkas perkara, putusan, dokumen, akta, buku daftar, biaya perkara, uang titipan pihak ketiga, surat-surat bukti dan surat-surat lainnya yang disimpan di kepaniteraan.
§  Memberitahukan putusan verstek dan putusan di luar hadir
§  Membuat akta-akta :
-   Permohonan banding
-   Pemberitahuan adanya permohonan banding
-   Penyampaian salinan memori/ kontra memori banding
-   Pemberitahuan membaca/memeriksa berkas perkara
-   Pemberitahuan putusan banding
-   Pencabutan permohonan banding
-   Prmohonan kasasi
-   Pemberitahuan adanya permohonan kasasi
-   Pemberitahuan memori kasasi
-   Penyampaian salinan memori kasasi atau kontra memori kasasi
-   Penerimaan kontra memori kasasi
-   Tidak menerima memori kasasi
-   Pencabutan pemohonan kasasi
-   Pemberitahuan putusan kasasi
-   Permohonan peninjauan kembali
-   Pemberitahuan adanya permohonan peninjauan kembali
-   Penerimaan / penyampaian jawaban pemohonan peninjauan kembali
-   Penyampaian salinan putusan penijauan kembali kepada pemohon peninjauan kembali
-   Pembuatan akta yang menurut undang-undang/ peraturan diharuskan dibuat oleh panitera
§  Melegalisir surat-surat yang akan dijadikan bukti dalam persidangan
§  Pemungutan biaya-biaya pengadilan dan menyetorkannya ke kas negar
§  Mengirimkan berkas perkara yang dimohonkan banding, kasasi dan penijauan kembali
§  Melaksanakan, melaporkan dan mempertanggungjawabkam eksekusi yang diperintahkan oleh ketua pengadilan agama
§  Melaksanakan dan mengawasi pelaksanaan pelelangan yang ditugaskan/diperintahkan oleh ketua pengadila agama
§  Menerima uang titiapan pihak ketiga dan melaporkannya kepada ketua pengadilan agama
§  Membuat akta  cerai
D. Wakil Panitera bertugas:
·        Membantu hakim dengan mengikuti dan mencatat jalannya sidang pengadilan
·        Membantu panitera untuk secara langsung membina, meneliti dan membantu mengawasi pelaksanaan tugas administrasi perkara antara lain ketertiban dalam mengawasi buku register perkara, membuat laporan periodik dan lain-lain.
·        Melaksanakan tugas panitera apabila panitera berhalangan
·        Melaksanakan tugas yang didelegasikan kepadanya
E. Panitera Muda Gugatan berfungsi:
§  Membantu hakim dengan mengikuti dan mencatat jalannya sidang pengadilan
§  Melaksanakan administrasi perkara, mempersiapkan persidangan perkara, menyimpan berkas perkara yang masih berjalan dan urusan lain yang berhubungan dengan maslah perkara gugatan
§  Memberi nomor register pada setiap perkara yng diterima di kepaniteraan gugatan
§  Mencatat setiap perkara yang diterima ke dalam buku daftar disertai catatan singkat tentang isinya
§  Menyerahkan salinan putusan kepada para pihak yang berperkara apabila dimintanya
§  Menyiapkan perkara yang dimohonkan banding, kasasi atau peninjauan kembali
§  Menyerahakan arsip berkas pekara kepada panitera muda hukum.
F. Panitera Muda Permohonan bertugas:
·        Melaksanakan tugas panitera muda gugatan dalam bidang perkara permohonan.
·        Termasuk dalam perkara permohonan ialah permohonan petolongan pembagian warisan di luar sengketa, permohonan legalisasi akta Ahli waris di bawah tangan dan lain-lainnya.
G. Panitera Muda Hukum bertugas:
§  Membantu hakim dengan mengikuti dan mencatat jalannya siding pengadilan
§  Mengumpulkan, mengolah dan mengkaji data, menyajikan statistik perkara, menyusun laporan perkara, menyimpan arsip berkas perkara
§  Mengumpulkan, mengolah dan mengkaji serta menyajikan data hisab, rukyat, sumpah jabatan/PNS, penelitian dan lain sebagainya serta melaporkannya kepada pimpinan
§  Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan kepadanya
H. Panitera Pengganti bertugas
·        Membantu hakim dengan melakukan persiapan, mengikuti dan mencatat jalannya siding pengadilan
·        Membantu hakim dalam hal:
-         Membuat penetapan hari sidang
-         Membuat penetapan sita jaminan
-         Membuat berita acara persidangan yang harus selesai sebelum sidang berikutnya
-         Membuat penetapan-penetapan lainnya
-         Mengetik putusan/penetapan siding

·        Melaporkan kepada Panitera Muda Gugatan/ Permohonan, d.h.i pada Petugas Meja Kedua untuk dicatat dalam register perkara tentang adanya:
-         Penundaan sidang serta alasan-alasannya
-         Amar putusan sela (kalau ada)
-         Perkara yang sudah putus beserta amar putusannya dan kepada kasir untuk diselesaikan tentang biaya-biaya dalam proses perkara tersebut.
·        Menyerahkan berkas perkara kepada Panitera Muda Gugatan/Permohonan (d.h.i: Petugas Meja Ketiga) apabila telah selesai diminutasi.
I. Jurusita/ Jurusita Pengganti bertugas:
§  Melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Ketua Pengadilan, Ketua Sidang dan Panitera
§  Menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran, protes-protes dan memberitahukan putusan pengadilan menurut cara-cara berdasarkan ketentuan undang-undang
§  Melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan dan dengan teliti melihat lokasi batas-batas tanah yang disita beserta surat-suratnya yang sah apabila menyita tanah.
§  Membuat berita acara penyitaan, yang salinan resminya diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan antara lain Badan Pertanahan Nasional setempat bila terjadi penyitaan sebidang tanah (PP. 10/1961 jo. Pasal 198-199 HIR)
§  Melakukan tugas pelaksanaan putusan dan membuat berita acaranya yang salinan resminya disampaikan pada pihak-pihak yang berkepentingan.
§  Melakukan penawaran pembayaran uang titipan pihak ketiga serta membuat berita acaranya
§  Melaksanakan tugas di wilayah Pengadilan Agama yang bersangkutan
§  Panitera karena jabatannya adalah juga pelaksanaan tugas kejurusitaan. Tugas dan tanggung jawab serta tata kerja juru sita diatur dalam Kep. Ketua MA No. KMA/055/SK/X/1996 tanggal 30-10-96.

TUGAS HAKIM
A. Tugas Yustisial
                        Hakim Peradilan Agama mempunyai tugas untuk menegakkan hukum perdata Islam yang menjadi wewenangnya dengan cara-cara yang diatur dalam hukum acara Peradilan Agama. Tugas-tugas pokok hakim di Pengadilan Agama dapat dirinci sebagai berikut:
1.      Membantu pencari keadilan (pasal 5 ayat 2 UU Nomor 14 tahun 1970)
2.      Mengatasi segala hambatan dan rintangan (pasal 5 ayat 2 UU Nomor 14 tahun1970)
3.      Mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa (pasal 130 HIR/ pasal 154 Rbg)
4.      Memimpin persidangan (pasal 15 ayat 2 UU Nomor 14 tahun 1970)
5.      Memeriksa dan mengadili perkara (pasal 2 (1) UU Nomor 14 tahun 1970)
6.      Meminutur berkas perkara ( 184 (3), 186 (2) HIR)  
7.      Mengawasi pelaksanaan putusan (pasal 33 (2) UU Nomor 14 tahun 1970)
8.      Memberikan pengayoman kepada pencari keadilan (pasal 27 (1) UU Nomor 14 tahun 1970)
9.      Menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (pasal 27 (1) UU Nomor 14 tahun 1970)
10.  Mengawasi penasehat hukum.
B. Tugas Non Yustisial
Selain tugas-tugas pokok sebagai tugas yustisial tersebut, hakim juga mempunyai tugas-tugas non yustisial, yaitu:
1.      Tugas pengawasan sebagai Hakim Pengawas Bidang
2.      Turut melaksanakan hisab, rukyat dan mengadakan kesaksian hilal
3.      Sebagai rohaniwan sumpah jabatan
4.      Memberikan penyuluhan hukum
5.      Melayani riset untuk kepentingan ilmiah
6.      Tugas-tugas lain yang diberikan kepadanya
C. Tugas Hakim dalam Memeriksa dan Mengadili Perkara:
1. Konstatiring, yaitu dituangkan dalam Berita Acara Persidangan dan dalam duduknya perkara pada putusan hakim. Konstatiring ialah meliputi:
§  Memeriksa identitas para pihak
§  Memeriksa kuasa hukum para pihak
§  Mendamaikan para pihak
§  Memeriksa syarat-syaratnya sebagai perkara
§  Memeriksa seluruh fakta/ peristiwa yang dikemukakan para pihak
§  Memeriksa syarat-syarat dan unsur-unsur setiap fakta/peristiwa
§  Memeriksa alat-alat bukti sesuai tata cara pembuktian
§  Memeriksa jawaban, sangkalan, keberatan dan bukti-bukti pihak lawan
§  Mendengar pendapat/kesimpulan masing-masing pihak
§  Menerapkan pemeriksaan sesuai hukum acara yang berlaku
2. Kualifisir, yaitu yang dituangkan dalam pertimbangan hukum dalam surat putusan yang meliputi:
·        Mempertimbangkan syarat-syarat formil perkara
·        Merumuskan pokok perkara
·        Mempertimbangkan beban pembuktian
·        Mempertimbangkan keabsahan peristiwa/fakta sebagai peristiwa/fakata hukum
·        Mempertimbangkan secara logis, kronologis dan juridis fakta-fakta hukum menurut hukum pembuktian
·        Mempertimbangkan jawaban, keberatan, dan sangkalan-sangkalan serta bukti-bukti lawan sesuai hukum pembuktian
·        Menemukan hubungan hukum peristiwa-peristiwa / fakta-fakta yang terbukti dengan petitum
·        Menemukan hukumnya baik hukum tertulis maupun yang tak tertulis dengan menyebutkan sumber-sumbernya
·        Mempertimbangkan biaya perkara.
3. Konstituiring yang dituangkan dalam amar putusan (dictum):
§  Menetapkan hukumnya dalam amar putusan
§  Mengadili seluruh petitum
§  Mengadili tidak lebih dari petitum kecuali undang-undang menentukan lain
§  Menetapkan biaya perkara.





B.     Kekuasaan Mengadili Peradilan Agama
Kewenangan disebut juga kekuasaan atau kompetensi, kompetensi berasal dari bahasa Latin competo, kewenangan yang diberikan undang-undang mengenai batas untuk melaksanakan sesuatu tugas; wewenang mengadili. Kompetensi dalam bahasa Belanda disebut competentie, kekuasaan (akan) mengadili; kompetensi. Kompetensi disebut juga kekuasaan atau kewenangan mengadili yang berkaitan dengan perkara yang diperiksa di pengadilan atau pengadilan mana yang berhak memeriksa perkara tersebut. Ada dua macam kompetensi atau kekuasaan/kewenangan mengadili, yaitu kewenangan relatif dan kewenangan absolut.
1.      Kewenangan Relatif Peradilan Agama
Yang dimaksud dengan kekuasaan relatif (relative competentie) adalah pembagian kewenangan atau kekuasaan mengadili antar Pengadilan Negeri. Atau dengan kata lain Pengadilan Negeri mana yang berwenang memeriksa dan memutus perkara. Pengertian lain dari kewenangan relatif adalah kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan tingkatan. Misalnya antara Pengadilan Negeri Padang dan Pengadilan Negeri Solok, Dari pengertian di atas maka pengertian kewenangan relatif adalah kekuasaan atau wewenang yang diberikan kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama jenis dan tingkatan yang berhubungan dengan wilayah hukum Pengadilan dan wilayah tempat tinggal/tempat kediaman atau domisili pihak yang berperkara.
a.      Kewenangan Relatif Perkara Gugatan
Pada dasarnya setiap gugatan diajukan ke Pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi:
·           Gugatan diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah kediaman tergugat. Apabila tidak diketahui tempat kediamannya maka pengadilan di mana tergugat bertempat tinggal.
·           Apabila tergugat lebih dari satu orang maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah salah satu kediaman tergugat.
·           Apabila tempat kediaman tergugat tidak diketahui atau tempat tinggalnya tidak diketahui atau jika tergugat tidak dikenal (tidak diketahui) maka gugatan diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal penggugat.
·           Apabila objek perkara adalah benda tidak bergerak, gugatan dapat diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi letak benda tidak bergerak.
·           Apabila dalam suatu akta tertulis ditentukan domisili pilihan, gugatan diajukan kepada pengadilan yang domisilinya dipilih.





b.      Kewenangan Relatif Perkara Permohonan
Untuk menentukan kekuasaan relatif Pengadilan Agama dalam perkara permohonan adalah diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon.
Namun dalam Pengadilan Agama telah ditentukan mengenai kewenangan relatif dalam perkara-perkara tertentu, perkara-perkara tersebut adalah sebagai sebagai berikut.
·        Permohonan ijin poligami diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon.
·        Permohonan dispensasi perkawinan bagi calon suami atau istri yang belum mencapai umur perkawinan (19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan) diajukan oleh orang tuanya yang bersangkutan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon.
·        Permohonan pencegahan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan.
·        Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya pernikahan atau tempat tinggal suami atau istri.
2.      Kewenangan Absolut Peradilan Agama
Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.
Kewenangan Absolut Sebelum Kemerdekaan:
•  Staatsblaad 1882 No. 152 tidak disebutkan secara tegas kewenangan PA, hanya disebutkan bahwa wewenang PA itu berdasarkan kebiasaan dan biasanya menjadi ruang lingkup wewenang PA adalah: hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan, talak, rujuk, wakaf, warisan.
•  Staatsblaad 1937 No. 116 (Jawa dan Madura) : “PA hanya berwenang memeriksa perselisihan antara suami istri yang beragama Islam dan perkara-perkara lain yang berkenaan dengan nikah, talak dan rujuk.
Pada masa ini wakaf, tuntutan nafkah, hadhanah, pemecatan wali nikah, perkara kewarisan, hibah wasiat, sadakah bukan kewenangan PA.   
Kewenangan Absolut Setelah Kemerdekaan:
PP No. 45 Tahun 1957: PA berwenang mengadili perkara nikah, talak, rujuk, fasakh, nafkah, mahar, maskan (tempat kediaman), mut'ah, hadanah, waris, wakaf, hibah, sadakah, baitul maal. SK. Menag No. 6 Tahun 1980: Nama untuk peradilan tingkat pertama yaitu Pengadilan Agama. Tingkat Banding Pengadilan Tinggi Agama.
Pasal 49 s/d 53 UU No. 7 Tahun 1989: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam serta wakaf dan sadakah.
Kewenangan PA saat ini:
Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:
·        perkawinan
·        waris
·        wasiat
·        hibah
·        wakaf
·        zakat
·        infaq
·        shadaqah
·        ekonomi syari’ah.
Pengadilan Agama berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
1.       Perkawinan
Dalam bidang perkawinan meliputi hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain:
1. izin beristri lebih dari seorang;
2. izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3. dispensasi kawin;
4. pencegahan perkawinan;
5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6. pembatalan perkawinan;
7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;
8. perceraian karena talak;
9. gugatan perceraian;
10. penyelesian harta bersama;
11. penguasaan anak-anak;
12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bilamana bapak yang seharusnya bertangung jawab tidak memenuhinya;
13. penentuan kewajiban memberi biaya peng-hidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14. putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16. pencabutan kekuasaan wali;
17. penunjukkan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
18. menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukkan wali oleh orang tuanya;
19. pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
20. penetapan asal usul seorang anak;
21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;

22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.Dalam Kompilasi Hukum Islam juga ada pasal-pasal memberikan kewenangan Peradilan Agama untuk memeriksa perkara perkawinan, yaitu:
23. Penetapan Wali Adlal;
24. Perselisihan penggantian mahar yang hilang sebelum diserahkan.
2. Waris
Yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
3. Wasiat
Yang dimaksud dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.
4. Hibah
Yang dimaksud dengan “hibah” adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
5. Wakaf
Yang dimaksud dengan “wakaf’ adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.
6. Zakat
Yang dimaksud dengan “zakat” adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
7. Infaq
Yang dimaksud dengan “infaq” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata’ala.
8. Shodaqoh
Yang dimaksud dengan “shadaqah” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata’ala dan pahala semata.

9. Ekonomi Syari’ah
Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi:
 bank syari’ah;
·        lembaga keuangan mikro syari’ah.
·        asuransi syari’ah
·        reksa dana syari’ah
·        obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah
·        sekuritas syari’ah
·        pembiayaan syari’ah
·        pegadaian syari’ah
·        dana pensiun lembaga keuangan syari’ah
·        bisnis syari’ah.

C.     Kedudukan Peradilan Agama
           Gerakan reformasi yang terjadi pada tahun 1998 yang ditandai dengan runtuhnya rezim kekuasaan otoriter orde baru di bawah kepemimpinan mantan Presiden Soeharto, bertujuan membenahi kekeliruan pemerintahan Indonesia yang terjadi selama 32 tahun berkuasanya kekuasaan otoriter orde baru dengan membentuk dan membangun pemerintahan Indonesia yang demokratis, bersih dan berwibawa (clean
governance).
Untuk merealisasikan tujuan tersebut, Gerakan Reformasi telah mendorong enam agenda yang harus dikerjakan untuk "mengembalikan". Indonesia pada jalur yang benar. Agenda reformasi tersebut adalah penegakan supremasi hukum; pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); mengadili mantan Presiden Soeharto dan kroninya; amandemen konstitusi; pencabutan dwifungsi TNI/Polri; serta pemberian otonomi daerah seluas- luasnya. Penegakan Supremasi hukum sebagai salah satu agenda penting gerakan reformasi mutlak dilakukan meski secara bertahap berdasarkan tahapan prioritasnya. Langkah awal yang mesti dilakukan adalah perbaikan system melalui perubahan dan penyempurnaan peraturan-peraturan yang mendasari penegakan hukum.
Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Menyelamatkan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara, pengkajian kembali mengenai fungsi eksekutif, legislative dan yudikatif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia perlu dilakukan. Langkah pengkajian ini diawali dengan melakukan amandemen terhadap Undang-undang Dasar 1945 karena Penegakan supremasi hukum tidak mungkin dapat dilakukan tanpa adanya reformasi hukum dan reformasi hukum pun tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan perubahan terhadap konstitusi (constitusional reform). Amandemen konstitusi bukanlah sesuatu yang dilarang oleh hukum, menurut Abraham Amos, Proses amandemen konstitusi juga bukanlah sesuatu yang bersifat keramat (tabu) terutama untuk memperbaiki hal-hal substansial yang belum termuat dalam konstitusi.
Salah satu hasil penting dari amandemen UUD 1945 adalah adanya pemisahan kekuasaan (separation of power) yang tegas antara cabang kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif sehingga diantara ketiga cabang kekuasaan Negara (power of state) tersebut terjadi checks and balances padahal UUD 1945 sebelum di amandemen menganut system pembagian kekuasaan (division of power).
Oleh sebab itulah kebijakan pemerintah untuk mengembalikan fungsi ketiga lembaga tersebut pada porsinya masing-masing nampaknya telah sesuai dengan keinginan ataupun aspirasi masyarakat Indonesia.
Dalam hal ini lembaga yudikatif sebagai lembaga tinggi Negara independen yang terlepas dari campur tangan pemerintah yang membawahi beberapa lembaga peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer, dan diantara salah satunya adalah Peradilan Agama yang saat ini mulai bertambah kewenangannya dengan keluarnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.7 Tahun 1989 dan selanjutnya yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009.
Bagi peradilan agama dengan dengan berlakunya undang-undang No.3 Tahun 2006 tentang atas perubahan atas undang-undang No. 7 tahun 1989 diberikan kewenangan baru bagi peradilan agama setelah dilakukannya amandemen terhadap undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yakni bidang Ekonomi Syariah. Begitu pula dengan undang-undang No. 4 Tahun 2004, tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman, salah satunya lembaga peradilan agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman semakin jelas kewenangannya, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama yang menjadi dasar lahirnya undang-undang No. 3 tahun 2006. Sebagaimana disebutkan dalam dalam salah satu pasal undangundang tersebut, yakni, pasal 2 disebutkan bahwa, Peradilan Agama adalah salah  satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadialan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu. Ini berarti bahwa secara kelembagaan, kedudukan lembaga peradilan Agama sudah semakin kuat dan sejajar dengan lingkungan peradilan lainnya. Bahkan secara kelembagaan peradilan agama juga mengalami perluasan, khususnya di Nanggroe Aceh Darussalam.
Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No 3 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa; Di lingkungan Peradilan Agama dapat diadakan pengkhususan pengadilan yang diatur dengan Undang-Undang. Maksud dari pasal tersebut adalah adanya pengadilan syariat Islam yang diatur tersendiri dengan Undang-Undang Mahkamah Syariah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan Penulis diatas, jelas bahwa status dan kedudukan peradilan agama pada masa reformasi ini sudah semakin kuat. Begitu pula dengan kewenangan yang dimilikinya semakin semakin bertambah dan semakin luas. Dari sisi status dan kedudukan, ia tidak lagi dibedakan dengan badan peradilan lain yang ada di Indonesia.

1 komentar: