BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Permasalahan
Dalam Negara
Hukum Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, keadilan, ketertiban, kebenaran dan
kepastian hokum dalam sistem dan penyelenggaraan hukum merupakan hal pokok yang
sangat penting dalam usaha mewujudkan suasana perikehidupan yang aman, tentram
dan tertib seperti yang diamanatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara. Oleh
karena itu untuk mewujudkan hal-hal tersebut dibutuhkan adanya lembaga yang
bertugas untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman guna menegakan hukum dan
keadilan dengan baik. Salah satu lembaga untuk menegakan hukum dalam mencapai
keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum adalah badan-badan
peradilan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, yang masing-masing mempunyai lingkup kewenangan
mengadili perkara atas sengketa dibidang tertentu dan salah satunya adalah Badan Peradilan Agama.
Peradilan Agama
adalah salah satu dari empat lingkungan peradilan Negara yang dijamin
kemerdekaannya dalam menjalankan tugasnya sebagaimana daitur dalam
Undang-undang tentang kekuasaan kehakiman.Peradilan Agama yang kewenangannya
mengadili perkara-perkara tertentu dan mengenai golongan rakyat tertentu yaitu
mereka yang beragama Islam, sejajar dengan peradilan yang lain.
B. Perumusan
Permasalahan
Berdasarkan
Uraian diatas, permasalahan yang diteliti adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana susunan organisasi peradilan agama ?
2. Bagaimana kekuasaan mengadili peradilan agama ?
3.
Bagaimana
kedudukan peradilan agama ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui susunan organisasi dalam peradilan
agama.
2. Untuk mengetahui kekuasaan mengadili dalam peradilan
agama.
3.
Untuk
mengetahui kedudukan peradilan agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Susunan
Organisasi Peradilan Agama
Susunan
hierarki peradilan agama secara instansional
diatur dalam pasal 6 UU No.7 tahun1989.Menurut ketentuan pasal ini
secara instansional,lingkugan peradilan agama terdiri dari 2 tingkat :
1.Pengadilan
agama sebagai pengadilan tingkat pertama.
2.Pengadilan
tinggi agama sebagai pengadilan tingkat banding.
Makna
pengadilan agama sebagai pengadilan
tingkat pertama ialah pengadilan yang bertindak menerima,memeriksa,dan memutus
setiap permohonan atau gugatan pada tahap paling awal dan paling bawah.
Pengadilan agama bertindak sebagai peradilan sehari hari menampung pada tahap
awal dan memutus atau mengadili pada tahap awal segala perkara yang diajukan
masyarakat mencari keadilan. Tidak boleh mengajukan suatu permohonan atau
gugatan langsung ke pengadilan tinggi agama. Semua jenis perkara terlebih
dahulu mesti melalui pengadilan agama dalam kedudukan hierarki sebagai
pengadilan tingkat pertama. Terhadap semua permohonan atau gugat perkara yang
diajukan kepadanya dalam kedudukan sebagai instansi pengadilan tingkat
pertama,harusn menerima,memeriksa,dan memutusnya,dilarang menolak untuk
menerima,memeriksa,dan memutus perkara yang diajukan kepada nya dengan dalih
apapun.Hal ini ditegas kan dalam pasal 56 yang bunyi nya : “ Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang
jelas,melainkan wajib memeriksa dan wajib memutus nya”.
Dari pengertian pengadilan agama sebagai pengadilan
tingkat pertama adalah pengadilan terbawah yang bertindak sebagai pintu gerbang
penerimaan, pemeriksaan dan pemetusan setiap perkara. Perkara yang tidak lebih
dulu diajukan ke pengadilan agama tidak akan pernah mendapat penyelesaian.
Tidak boleh lansung di ajukan ke pengadilan yang lebih tinggi yakni Pengadilan
Tinggi. Karena fungsi peradilan yang di berikan undang – undang kepada
pengadilan tinggi bukan sebagai pengadilan tingkat pertama, tapi pengadilan tingkat
banding.
Pengadilan
Tinggi agama kedudukannya sebagai pengadilan tingkat banding, bertindak dan
berwenang memeriksa ulang suatu perkara yang diperiksa dan di putus oleh
pengadilan agama, apabila pihak yang berperkara mengajukan permintaan banding.
Susunan
pengadilan agama secara horizontal berkedudukan pada setiap kota madya atau ibu
kota kabupaten. Susunan horizontal pengadilan tinggi agama berkedudukan pada
setiap ibu kota provinsi. Selanjutnya susunan horizontal dengan sendirinya
merupakan penentuan batas kekuasaan daerah hukum masing – masing pengadilan.
Daerah hukum pengadilan agama hanya meliputi daerah kota madya atau daerah
kabupaten dimana ia terletak. Seluas daerah itulah kewenangan atau kompetensi
relatifnya. Begitu juga daerah hukum pengadilan agama. Daerah hukum masing –
masing sesuai dengan daerah provinsi dimana dia terletak. Memang pada dasarnya
luas daerah hukum masing – masing pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama
di sesuaikan dengan daerah hukum pemerintahan kota madya atau kabupaten dan
provinsi.
Susunan
Organisasi Pengadilan Agama sesuai Bab II,Bagian Pertama,Pasal 9 UU Nomor 7
tahun 1989 terdiri dari :
1. Pimpinan ;
2. Hakim Anggota ;
3. Panitera ;
4. Sekretaris dan
5. Juru Sita
Sedangkan
pada Pengadilan Tinggi Agama, terdiri dari :
1. Pimpinan ;
2. Hakim Anggota ;
3. Panitera dan
4. Sekretaris
SUSUNAN ORGANISASI PERADILAN AGAMA
KETUA
|
WAKIL KETUA
|
HAKIM
|
HAKIM
|
HAKIM
|
HAKIM
|
PAN/SEK
|
P.PENGGANTI
|
P.PENGGANTI
|
P.PENGGANTI
|
P.PENGGANTI
|
WAKIL SEKRETARIS
|
WAKIL PANITERA
|
JURU SITA
|
J.S PENGGANTI
|
P.MUDA BANDING/KASASI
|
KEUANGAN
|
TATA USAHA/UMUM
|
PERSONALIA
|
P.MUDA HUKUM
|
P.MUDA PERKARA
|
I.
Syarat Pengangkatan,Pemberhentian dan Sumpah Hakim
Menurut
Pasal 11 Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman. Oleh
karena itu, wajar apabila undang-undang menentukan syarat, pengangkatan,
pemberhentian, dan sumpah yang sesuai dengan jabatan tersebut.
A.
Pengangkatan
hakim
Untuk
dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat pada pasal 13 ayat 1 UU Nomor 50 tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagai berikut:
·
warga
negara Indonesia
·
beragama
Islam
·
bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa
·
setia
kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
·
sarjana
syari'ah, sarjana hukum Islam atau sarjana yang menguasai hukum Islam
·
lulus pendidikan
hakim
·
mampu secara
rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban
·
berumur
serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 40 tahun
·
berwibawa,
jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
·
Tidak pernah
dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
Menurut Pasal 15 ayat 1 UU No.7 Tahun 1989, yang
berwenang mengangkat hakim di lingkungan Peradilan Agama ialah Presiden atas
usul Ketua Mahkamah Agung.
-
Atas
usul Menteri Agama
-
Berdasarkan
persetujuan Ketua Mahkamah Agung
Dari prosedur ini instansi yang berwenang mengangkat
hakim, terlibat tiga unsur aparat Negara. Hal ini memperlihatkan, betapa
terhormat kedudukan jabatan hakim. Hingga Presiden dan Ketua Mahkamah Agung
terpaksa ikut campur. Sudah selayaknya para hakim menjunjung tinggi kehormatan
dan kepercayaan tersebut.
B.
Pemberhentian
Hakim
Mengenai pemberhentian hakim,
sama prosedurnya dengan pengangkatan hakim. Pemberhentian hakim dilakukan oleh
Presiden selaku Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah Agung dan/atau Komisi
Yudisial melalui Ketua Mahkamah Agung, sebagaimana yang ditegaskan Pasal 15
ayat (1a) UU Nomor 50 tahun 2009.
Undang-undang mengenai dua
jenis pemberhentian. Setiap jenis pemberhentian didasarkan atas alasan-alasan
tertentu yakni pemberhentian dengan “hormat” dan pemberhentian dengan “tidak hormat”.
a) Pemberhentian dengan hormat
Alasan-alasan pemberhentian hakim dengan hormat dari jabatannya yang
diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 50 Tahun 2009, karena:
J Atas permintaan sendiri secara tertulis
J Sakit jasmani atau rohani terus menerus.
J Telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun bagi ketua,
wakil ketua dan hakim pengadilan agama dan
67 (enam puluh tujuh) tahun bagi ketua, wakil ketua dan hakim pengadilan
tinggi agama.
J Ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugas.
b) Pemberhentian Tidak Hormat
Alasan-alasan pemberhentian hakim tidak dengan hormat dari jabatannya yang
diatur dalam Pasal 19 UU Nomor 50 Tahun 2009, karena:
L Dipidana penjara
karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap
L Melakukan perbuatan tercela.
L Terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan
tugas pekerjaannya selama 3 bulan.
L Melanggar sumpah atau janji jabatan.
L Melanggar larangan rangkap.
Menurut Pasal 17, Hakim tidak boleh merangkap menjadi:
Ø Pelaksana putusan pengadilan.
Ø Wali pengampu, dan jabatan yang berkaitan dengan suatu
perkara yang diperiksa olehnya.
Ø Pengusaha
Ø Tidak boleh merangkap menjadi penasihat hukum.
C.
Pengambilan
Sumpah Hakim
Sebelum seorang hakim menjalankan fungsi jabatan sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman, wajib lebih dulu mengucapkan sumpah menurut agama islam.
Lafal sumpah jabatan dirumuskan dalam Pasal 16 yang berbunyi:“Demi Allah, saya bersumpah bahwa
saya, untuk memperoleh jabatan saya ini,langsung atau tidak langsung, dengan
menggunakan nama atau cara apa pun juga,
tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga".
"Saya
bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak
sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji
atau pemberian".
"Saya
bersumpah bahwa saya akan
setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara,
Undang-Undang Dasar 1945, dan segala Undang-undang
serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia".
"Saya
bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan
tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku
dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang
Ketua, Wakil Ketua, Hakim Pengadilan yang berbudi
baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
II.
Syarat Pengangkatan,Pemberhentian dan Sumpah Ketua dan
Wakil Ketua Pengadilan Agama
A.
Pengangkatan
Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Agama
Menurut pasal 13 ayat (2) UU
Nomor 50 tahun 2009, seorang Hakim Pengadilan Agama baru dianggap memenuhi
syarat untuk diangkat menjabat sebagai Ketua berpengalaman paling singkat 7
(tujuh) tahun sebagai Hakim Pengadilan Agama.
Pejabat yang berwenang mengangkat Hakim menjadi Ketua atau Wakil Ketua
Pengadilan Agama ialah Ketua Mahkamah Agung.
B.
Pemberhentian
Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Agama
Pemberhentian dari jabatan
Ketua atua Wakil Ketua sejalan dengan pengangkatan seperti yang diatur dalam
pasal 15 ayat (2) UU Nomor 50 tahun 2009 yakni diberhentikan oleh Ketua
Mahkamah Agung.
C.
Pengambilan
Sumpah Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Agama
Mengenai pengambilan sumpah
Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Agama diatur dalam pasal 16 UU Nomor 3 tahun
2006.
III.
Syarat Pengangkatan, Pemberhentian dan Sumpah Panitera
Pengadilan Agama
A. Pengangkatan Panitera
Agar seseorang dapat diangkat menjadi Panitera/ sekretaris Pengadilan
Agama, calon harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan Pasal 27 UU Nomor 50
tahun 2009 :
·
Warga
Negara Indonesia
·
Beragama
Islam
·
Bertakwa
Kepada Tuhan YME
·
Setia
kepada Pancasila dan UUD 1945
·
Berijazah
sarjana Syari’ah atau sarjana hukum Islam atau sarjana hukum yang yang
menguasai hukum Islam.
·
Berpengalaman
paling singkat 3 tahun sebagai wakil Panitera atau 5 tahun sebagai panitera
muda pengadilan agama atau menjabat wakil panitera pengadilan tinggi agama.
·
Mampu
secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban.
B. Pemberhentian Panitera / Sekretaris
Meneganai pengangkatan dan pemberhentian
Panitera/sekretaris diatur dalam pasal 36 UU Nomor 7 tahun 1989. Pengangkatan
dan pemberhentian dilakukan oleh Menteri Agama.
C. Pengambilan sumpah Panitera/Sekretaris
Sebelum memangku jabatan
panitera disumpah menurut agama islam oleh Ketua Pengadilan Agama.Bunyi Sumpah
Selengkapnya dirumuskan dalam pasal 37 UU Nomor 3 tahun 2006:
"Demi
Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung dengan
menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan
atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga".
"Saya
bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan
menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau
pemberian".
"Saya
bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila
sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang
serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik
Indonesia".
"Saya
bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak
membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan
kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Panitera, Wakil Panitera,
Panitera Muda, Panitera Pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum
dan keadilan".
IV.
Syarat Pengangkatan, Pemberhentian dan Sumpah Panitera
Muda Pengadilan Agama
Syarat-syarat
pengangkatan, pemberhentian dan penyumpahan Panitera Muda Pengadilan Agama,
sama dengan ketentuan yang berlaku kepada Panitera dan wakil Panitera.
Petbedaan Cuma terletak pada maslah pengalaman kerja. Pengalaman kerja yang
harus dipenuhi agar dapat diangkat sebagai Panitera Muda Pengadilan Agama,
sekurang-kurangnya 3 tahun sebagai Panitera Pengganti. ( lihat pasal 30, jo 27
pasal 37)
V.
Syarat
Pengangkatan, Pemberhentian dan Sumpah Panitera Pengganti Pengadilan
Agama
Mengenai pengangkatan
panitera pengganti pengadilan agama diatur dalam pasal 33 UU Nomor 3 tahun 2006.
Semua persyaratan, pengangkatan, pemberhentian panitera pengganti sama dengan
ketentuan yang berlaku bagi panitera, wakil panitera, dan panitera muda. Perbedaannnya
hanya terdapat pada pengalaman kerja. Agar dapat diangkat menjadi panitera
pengganti pada pengadilan agama, sekurang-kurangnya mempunyai pengalaman kerja
paling tidak 3 tahun sebagai pegawai negeri pada pengadilan agama.
Memperhatikan syarat-syarat yang harus dipenuhi
panitera muda dan panitera pengganti, terutama mengenai syarat pendidikan yang
ditentukan dalam pasal 27 huruf (e) yakni paling rendah berijazah sarjana muda
syari’ah atau sarjana muda hukum, kiranya prestasi dan peningkatan kualitas
kerja dan pelayanan akan dapat ditingkatkan.
VI.
Syarat
Pengangkatan, Pemberhentian dan Sumpah Juru Sita Pengadilan Agama
A.
Syarat-syarat
juru sita dan juru sita pengganti
Ketentuan
mengenai syarat-syarat juru sita diatur dalam pasal 39 UU Nomor 50 Tahun 2009,
yakni:
§ Warga Negara Indonesia
§ Beragama Islam
§ Bertakwa Kepada Tuhan YME
§ Setia kepada Pancasila dan UUD 1945
§ Berijazah serendah-rendahnya sekolah lanjutan tingkat
atas (SLTA)
§ Berpengalaman sekurang-kurangnya 3 tahun sebagai juru
sita pengganti
Syarat-syarat yang ditentukan untuk juru sita sama dengan juru sita
pengganti.perbedaan terletak pada masalah pengalaman kerja. Jika untuk juru
sita syarat pengalaman kerjanya minimal 3 tahun menjadi juru sita pengganti.
Maka untuk juru sita pengganti, syaratnya pengalaman kerjanya minimal 3 tahun
sebagai pegawai negeri pada pengadilan agama.
B. Pengangkatan dan pemberhentian juru sita dan juru sita
pengganti
Pengangkatan dan pemberhentian juru sita dan juru sita pengganti diatur
didalam pasal 40 UU nomor 3 tahun 2006 :
§ Juru sita diangkat dan diberhentikan oleh Ketua
Mahkamah Agung atas usul ketua pengadilan agama yang bersangkutan
§ Juru sita pengganti diangkat dan diberhentikan oleh
Ketua Pengadilan Agama yang bersangkutan.
C. Pengambilan sumpah juru sita dan juru sita pengganti
Sebelum memangku jabatan juru
sita dan juru sita pengganti diambil sumpah menurut agama islam oleh ketua
pengadilan agama. Bunyi rumusan sumpahnya dicantumkan selengkapnya dalam pasal
41 UU Nomor 3 tahun 2006:
"Demi
Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung,
dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak
memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga".
"Saya
bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesusatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan
menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau
pemberian".
"Saya
bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar
dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945,
dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia".
"Saya
bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak
membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan
kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Juru Sita, Juru Sita
Pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
VII.
Syarat
Pengangkatan, Pemberhentian dan Sumpah Wakil Sekretaris Pengadilan Agama
A. Syarat-syarat wakil sekretaris
Ketentuan
mengenai syarat-syarat juru sita diatur dalam pasal 39 UU No.50 Tahun 2009,
yakni:
§ Warga Negara Indonesia
§ Beragama Islam
§ Bertakwa Kepada Tuhan YME
§ Setia kepada Pancasila dan UUD 1945
§ Berijazah pendidikan menengah
§ Berpengalaman paling singkat 3 tahun sebagai juru sita
pengganti
§ Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan
tugas dan kewajiban.
B. Pengangkatan dan pemberhentian wakil sekretaris
pengadilan agama
Pengangkatan dan pemberhentian sekretaris dan wakil sekretaris diatur
didalam pasal 47 UU Nomor 3 tahun 2006, dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung.
C. Pengambilan sumpah wakil sekretaris pengadilan agama
Sebelum memangku jabatan
sebagai wakil sekretaris pengadilan agama harus diambil sumpah. Bunyi rumusan sumpahnya dicantumkan
selengkapnya dalam pasal 48 UU Nomor 3 tahun 2006:
"Demi
Allah, saya bersumpah :
bahwa
saya, untuk diangkat menjadi Wakil Sekretaris, akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang
Dasar 1945, Negara dan Pemerintah; bahwa
saya, akan mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang
dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian,
kesadaran, dan tanggung jawab ; bahwa
saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, Pemerintah, dan martabat Wakil Sekretaris serta
akan senantiasa mengutamakan kepentingan negara daripada
kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan; bahwa saya, akan memegang rahasia
sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah
harus saya rahasiakan; bahwa
saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara".
SUSUNAN
ORGANISASI PENGADILAN TINGGI AGAMA
I.
Syarat Pengangkatan, pemberhentian dan Penyumpahan
Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama
Yang dimaksud
hakim tinggi menurut pasal 10 ayat (3) adalah hakim anggota pada pengadilan
tinggi agama. Berapa jumlah hakim tinggi pada setiap pengadilan tinggi agama,
tidak ditentukan dalm undnag-undang No.7 Tahun 1989.
Secara realistic jumlah hakim tinggi yang ideal pada
setiap pengadilan tinggi agama lebih tepat didasarkan pada patokan volume
perkara. Pada pengadilan tinggi agama yang besar jumlah volume perkara, wajar
untuk menempatkan hakim tinggi yang sebanding dengan jumlah perkara.
Menurut
pengamatan dan pengalaman, terdapat perbedaan jumlah volume perkara banding
anatara satu pengadilan tinggi agama yang satu dengan yang lain. Oleh karena
itu tidak rasional dan tidak realistik untuk menempatkan hakim tinggi yang sama
jumlahnya pada setiap pengadilan tinggi agama.
A.
Syarat-syarat
Hakim Tinggi
Diatur dalam pasal 14 ayat (1) jo Pasal 13 ayat (1) UU
Nomor 50 tahun 2009 yang terdiri dari:
·
warga
negara Indonesia
·
beragama
Islam
·
bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa
·
setia
kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
·
sarjana syariah,
sarjana hukum Islam atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam
·
lulus pendidikan
hakim
·
mampu secara
jasmani dan rohani untuk menjalankan tugas dan kewajiban
·
berwibawa,
jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
·
Berusia paling
rendah 25 tahun dan paling tinggi 40 tahun
·
Tidak pernah
dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
B.
Pengangkatan
dan Pemberhentian Hakim Tinggi
Mengenai
pengangkatan dan pemberhentian dari jabatan hakim tinggi, berlaku sepenuhnya
ketentuan pengangkatan dan pemberhentian hakim yang diatur dalam pasal 15 UU
Nomor 50 tahun2009. Dengan demikian pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan
oleh Presiden selaku kepala Negara, atas usul Ketua Mahkamah Agung.
Begitu
juga dengan pemberhentian dengan hormat maupun pemberhentian tidak hormat, berlaku
ketentuan umum yang diatur dalam pasal 18 dan pasal 19 UU Nomor 50 tahun 2009.
a)
Pemberhentian
dengan Hormat
Dengan alasan :
J
Permintaan
sendiri
J
Sakit
jasmani atau rohani secara terus-menerus
J
Telah
berumur 65 tahun bagi ketua, wakil ketua dan hakim pengadilan agama, dan 67
tahun bagi ketua, wakil ketua dan hakim pengadilan tinggi agama.
J
Ternyata
tidak cakap dalam menjalankan tugas
b)
Pemberhentian
dengan Tidak Hormat
Dengan alasan :
L
Dipidana
karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan
L
Melakukan
perbuatan tercela
L
Terus-menerus
melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaan selama 3 bulan
L
Melanggar
sumpah jabatan atau janji jabatan
L
Melanggar
larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17
L
Melanggar
kode etik dan pedoman prilaku hakim
C.
Pengambilan
Sumpah Hakim Tinggi
Sebelum seorang hakim menjalankan fungsi jabatan
sebagai Hakim Tinggi, wajib lebih dulu mengucapkan sumpah menurut agama islam.
Pengambilan sumpah hakim tinggi dilakukan oleh Ketua Pengadilan Agama sesuai
dengan bunyi sumpah yang dicantumkan dalam pasal 16 ayat (1) jo. Pasal 16 ayat
(2) UU Nomor 3 tahun 2006.
II.
Syarat Pengangkatan, Pemberhentian, dan Penyumpahan
Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama
A. Syarat-syarat wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama
Persyaratan
pengangkatan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama, disamping harus memenuhi
persyaratan umum yang diatur dalam pasal 13 UU Nomor 50 tahun 2009 ditambah
dengan persyaratan yang disebut pasal 14 huruf (b), yakni harus berusia paling
rendah 40 tahun, juga ditambah lagi dengan sekurang-kurangnya sudah bertugas:
o
Paling
tidak 5 tahun sebagai hakim tinggi agama pada pengadilan tinggi agama.
o
Paling
tidak 3 tahun sebagai hakim tinggi yang pernah menjabat sebagai ketua
pengadilan agama.
B. Pengangkatan dan pemberhentian dari jabatan Wakil
ketua Pengadilan tinggi agama
Pengangkatan dan
pemberhentian Hakim berbeda dengan pengangkatan dan pemberhentian wakil ketua
pengadilan tinggi agama, pengangkatan dan pemberhentian hakim berlaku “umum”
untuk semua hakim tanpa kecuali dan tanpa mempersoalkan apakah dia ketua atau
wakil ketua.sedangkan pengangkatan dan pemberhentian wakil ketua atau ketua
adlah permasalahan khusus yang menyangkut pengangkatan dan pemberhentian dari
jabatan “pimpinan” pengadilan. Hal ini diatur dalm pasal 15 ayat (2) UU Nomor
50 tahun 2009. Menurut pasal ini pengangkatan dan pemberhentian dilakukan oleh Ketua
Mahkamah Agung.
Mengenai alasan pemberhentian apakah dengan hormat atau tidak hormat
berpedoman pada ketentuan pasal 18 dan 19 UU Nomor 50 tahun 2009.
Tugas
Masing-masing Organ dalam Pengadilan Agama
A. Ketua Pengadilan Agama bertugas:
1.
mengatur
pembagian tugas para hakim
2. membagikan semua berkas dan atau surat-surat lain yang
berhubungan dengan perkara yang diajukan ke pengadilan kepada Majelis Hakim
untuk diselesaikan
3. menetapkan perkara yang harus diadili berdasarkan
nomor urut, tetapi apabila terdapat perakara tertentu yang karena menyangkut
kepentingan umum harus segera diadili maka perkara itu didahulukan.
4. Mengawasi kesempurnaan pelaksanaan penetapan atau putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
5. Mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan
tingkah laku hakim, panitera, sekretaris dan juru sita di daerah hukumnya.
6.
Mengevaluasi
atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim, panitera, sekretaris dan juru
sita.
B. Wakil Ketua bertugas:
·
Membantu
ketua dalam tugasnya sehari-hari
·
Melaksanakan
tugas-tugas ketua dalam hal ketua berhalangan
·
Melaksanakan
tugas-tugas lain yang diberikan kepadanya
C. Panitera bertugas:
§
Menyelenggarakan
administrasi perkara dan mengatur tugas wakil panitera, panitera muda dan
panitera pengganti
§
Membantu
hakim dengan menghadiri dan mencatat jalannya sidang pengadilan, membuat
putusan / penetapan majelis
§
Menyusun
berita acara persidangan
§
Melaksanakan
penetapan dan putusan pengadilan
§
Membuat
semua daftar perkara yang diterima kepaniteraan
§
Membuat
salinan atau turunan penetapan atau putusan pengadilan menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
§
Bertanggung
jawab kepengurusan berkas perkara, putusan, dokumen, akta, buku daftar, biaya
perkara, uang titipan pihak ketiga, surat-surat bukti dan surat-surat lainnya
yang disimpan di kepaniteraan.
§
Memberitahukan
putusan verstek dan putusan di luar hadir
§
Membuat
akta-akta :
- Permohonan banding
- Pemberitahuan adanya permohonan banding
- Penyampaian salinan memori/ kontra memori banding
- Pemberitahuan membaca/memeriksa berkas perkara
- Pemberitahuan putusan banding
- Pencabutan permohonan banding
- Prmohonan kasasi
- Pemberitahuan adanya permohonan kasasi
- Pemberitahuan memori kasasi
- Penyampaian salinan memori kasasi atau kontra memori
kasasi
- Penerimaan kontra memori kasasi
- Tidak menerima memori kasasi
- Pencabutan pemohonan kasasi
- Pemberitahuan putusan kasasi
- Permohonan peninjauan kembali
- Pemberitahuan adanya permohonan peninjauan kembali
- Penerimaan / penyampaian jawaban pemohonan peninjauan
kembali
- Penyampaian salinan putusan penijauan kembali kepada
pemohon peninjauan kembali
- Pembuatan akta yang menurut undang-undang/ peraturan
diharuskan dibuat oleh panitera
§ Melegalisir surat-surat yang akan dijadikan bukti
dalam persidangan
§ Pemungutan biaya-biaya pengadilan dan menyetorkannya
ke kas negar
§ Mengirimkan berkas perkara yang dimohonkan banding,
kasasi dan penijauan kembali
§ Melaksanakan, melaporkan dan mempertanggungjawabkam
eksekusi yang diperintahkan oleh ketua pengadilan agama
§ Melaksanakan dan mengawasi pelaksanaan pelelangan yang
ditugaskan/diperintahkan oleh ketua pengadila agama
§ Menerima uang titiapan pihak ketiga dan melaporkannya
kepada ketua pengadilan agama
§
Membuat
akta cerai
D. Wakil Panitera bertugas:
·
Membantu
hakim dengan mengikuti dan mencatat jalannya sidang pengadilan
·
Membantu
panitera untuk secara langsung membina, meneliti dan membantu mengawasi
pelaksanaan tugas administrasi perkara antara lain ketertiban dalam mengawasi
buku register perkara, membuat laporan periodik dan lain-lain.
·
Melaksanakan
tugas panitera apabila panitera berhalangan
·
Melaksanakan
tugas yang didelegasikan kepadanya
E. Panitera Muda Gugatan berfungsi:
§ Membantu hakim dengan mengikuti dan mencatat jalannya
sidang pengadilan
§ Melaksanakan administrasi perkara, mempersiapkan
persidangan perkara, menyimpan berkas perkara yang masih berjalan dan urusan
lain yang berhubungan dengan maslah perkara gugatan
§ Memberi nomor register pada setiap perkara yng
diterima di kepaniteraan gugatan
§ Mencatat setiap perkara yang diterima ke dalam buku
daftar disertai catatan singkat tentang isinya
§ Menyerahkan salinan putusan kepada para pihak yang
berperkara apabila dimintanya
§ Menyiapkan perkara yang dimohonkan banding, kasasi
atau peninjauan kembali
§
Menyerahakan
arsip berkas pekara kepada panitera muda hukum.
F. Panitera Muda Permohonan bertugas:
·
Melaksanakan
tugas panitera muda gugatan dalam bidang perkara permohonan.
·
Termasuk
dalam perkara permohonan ialah permohonan petolongan pembagian warisan di luar
sengketa, permohonan legalisasi akta Ahli waris di bawah tangan dan
lain-lainnya.
G. Panitera Muda Hukum bertugas:
§
Membantu
hakim dengan mengikuti dan mencatat jalannya siding pengadilan
§
Mengumpulkan,
mengolah dan mengkaji data, menyajikan statistik perkara, menyusun laporan
perkara, menyimpan arsip berkas perkara
§
Mengumpulkan,
mengolah dan mengkaji serta menyajikan data hisab, rukyat, sumpah jabatan/PNS,
penelitian dan lain sebagainya serta melaporkannya kepada pimpinan
§
Melaksanakan
tugas-tugas lain yang diberikan kepadanya
H. Panitera Pengganti bertugas
·
Membantu
hakim dengan melakukan persiapan, mengikuti dan mencatat jalannya siding
pengadilan
·
Membantu
hakim dalam hal:
-
Membuat
penetapan hari sidang
-
Membuat
penetapan sita jaminan
-
Membuat
berita acara persidangan yang harus selesai sebelum sidang berikutnya
-
Membuat
penetapan-penetapan lainnya
-
Mengetik
putusan/penetapan siding
·
Melaporkan
kepada Panitera Muda Gugatan/ Permohonan, d.h.i pada Petugas Meja Kedua untuk
dicatat dalam register perkara tentang adanya:
-
Penundaan
sidang serta alasan-alasannya
-
Amar
putusan sela (kalau ada)
-
Perkara
yang sudah putus beserta amar putusannya dan kepada kasir untuk diselesaikan
tentang biaya-biaya dalam proses perkara tersebut.
·
Menyerahkan
berkas perkara kepada Panitera Muda Gugatan/Permohonan (d.h.i: Petugas Meja
Ketiga) apabila telah selesai diminutasi.
I. Jurusita/ Jurusita Pengganti bertugas:
§ Melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Ketua
Pengadilan, Ketua Sidang dan Panitera
§ Menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran,
protes-protes dan memberitahukan putusan pengadilan menurut cara-cara
berdasarkan ketentuan undang-undang
§ Melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan dan
dengan teliti melihat lokasi batas-batas tanah yang disita beserta
surat-suratnya yang sah apabila menyita tanah.
§ Membuat berita acara penyitaan, yang salinan resminya
diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan antara lain Badan Pertanahan
Nasional setempat bila terjadi penyitaan sebidang tanah (PP. 10/1961 jo. Pasal
198-199 HIR)
§ Melakukan tugas pelaksanaan putusan dan membuat berita
acaranya yang salinan resminya disampaikan pada pihak-pihak yang
berkepentingan.
§ Melakukan penawaran pembayaran uang titipan pihak
ketiga serta membuat berita acaranya
§ Melaksanakan tugas di wilayah Pengadilan Agama yang
bersangkutan
§
Panitera
karena jabatannya adalah juga pelaksanaan tugas kejurusitaan. Tugas dan
tanggung jawab serta tata kerja juru sita diatur dalam Kep. Ketua MA No.
KMA/055/SK/X/1996 tanggal 30-10-96.
TUGAS
HAKIM
A. Tugas Yustisial
Hakim
Peradilan Agama mempunyai tugas untuk menegakkan hukum perdata Islam yang
menjadi wewenangnya dengan cara-cara yang diatur dalam hukum acara Peradilan
Agama. Tugas-tugas pokok hakim di Pengadilan Agama dapat dirinci sebagai
berikut:
1. Membantu pencari keadilan (pasal 5 ayat 2 UU Nomor 14
tahun 1970)
2. Mengatasi segala hambatan dan rintangan (pasal 5 ayat
2 UU Nomor 14 tahun1970)
3. Mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa (pasal 130
HIR/ pasal 154 Rbg)
4. Memimpin persidangan (pasal 15 ayat 2 UU Nomor 14
tahun 1970)
5. Memeriksa dan mengadili perkara (pasal 2 (1) UU Nomor
14 tahun 1970)
6. Meminutur berkas perkara ( 184 (3), 186 (2) HIR)
7. Mengawasi pelaksanaan putusan (pasal 33 (2) UU Nomor
14 tahun 1970)
8. Memberikan pengayoman kepada pencari keadilan (pasal
27 (1) UU Nomor 14 tahun 1970)
9. Menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat
(pasal 27 (1) UU Nomor 14 tahun 1970)
10. Mengawasi penasehat hukum.
B. Tugas Non Yustisial
Selain tugas-tugas pokok sebagai tugas yustisial
tersebut, hakim juga mempunyai tugas-tugas non yustisial, yaitu:
1.
Tugas
pengawasan sebagai Hakim Pengawas Bidang
2.
Turut
melaksanakan hisab, rukyat dan mengadakan kesaksian hilal
3.
Sebagai
rohaniwan sumpah jabatan
4.
Memberikan
penyuluhan hukum
5.
Melayani
riset untuk kepentingan ilmiah
6.
Tugas-tugas
lain yang diberikan kepadanya
C. Tugas Hakim dalam Memeriksa dan Mengadili Perkara:
1. Konstatiring, yaitu dituangkan dalam Berita Acara Persidangan
dan dalam duduknya perkara pada putusan hakim. Konstatiring ialah meliputi:
§
Memeriksa
identitas para pihak
§
Memeriksa
kuasa hukum para pihak
§
Mendamaikan
para pihak
§
Memeriksa
syarat-syaratnya sebagai perkara
§
Memeriksa
seluruh fakta/ peristiwa yang dikemukakan para pihak
§
Memeriksa
syarat-syarat dan unsur-unsur setiap fakta/peristiwa
§
Memeriksa
alat-alat bukti sesuai tata cara pembuktian
§
Memeriksa
jawaban, sangkalan, keberatan dan bukti-bukti pihak lawan
§
Mendengar
pendapat/kesimpulan masing-masing pihak
§
Menerapkan
pemeriksaan sesuai hukum acara yang berlaku
2. Kualifisir, yaitu yang dituangkan dalam
pertimbangan hukum dalam surat putusan yang meliputi:
·
Mempertimbangkan
syarat-syarat formil perkara
·
Merumuskan
pokok perkara
·
Mempertimbangkan
beban pembuktian
·
Mempertimbangkan
keabsahan peristiwa/fakta sebagai peristiwa/fakata hukum
·
Mempertimbangkan
secara logis, kronologis dan juridis fakta-fakta hukum menurut hukum pembuktian
·
Mempertimbangkan
jawaban, keberatan, dan sangkalan-sangkalan serta bukti-bukti lawan sesuai
hukum pembuktian
·
Menemukan
hubungan hukum peristiwa-peristiwa / fakta-fakta yang terbukti dengan petitum
·
Menemukan
hukumnya baik hukum tertulis maupun yang tak tertulis dengan menyebutkan
sumber-sumbernya
·
Mempertimbangkan
biaya perkara.
3. Konstituiring yang dituangkan dalam amar putusan
(dictum):
§ Menetapkan hukumnya dalam amar putusan
§ Mengadili seluruh petitum
§ Mengadili tidak lebih dari petitum kecuali
undang-undang menentukan lain
§
Menetapkan
biaya perkara.
B. Kekuasaan
Mengadili Peradilan Agama
Kewenangan disebut juga kekuasaan atau kompetensi, kompetensi
berasal dari bahasa Latin competo, kewenangan yang diberikan
undang-undang mengenai batas untuk melaksanakan sesuatu tugas; wewenang
mengadili. Kompetensi dalam bahasa Belanda disebut competentie,
kekuasaan (akan) mengadili; kompetensi. Kompetensi disebut juga kekuasaan atau
kewenangan mengadili yang berkaitan dengan perkara yang diperiksa di pengadilan
atau pengadilan mana yang berhak memeriksa perkara tersebut. Ada dua macam kompetensi
atau kekuasaan/kewenangan mengadili, yaitu kewenangan relatif dan kewenangan
absolut.
1.
Kewenangan Relatif
Peradilan Agama
Yang dimaksud
dengan kekuasaan relatif (relative competentie) adalah pembagian
kewenangan atau kekuasaan mengadili antar Pengadilan Negeri. Atau dengan kata
lain Pengadilan Negeri mana yang berwenang memeriksa dan memutus perkara.
Pengertian lain dari kewenangan relatif adalah kekuasaan peradilan yang satu
jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang
sama jenis dan tingkatan. Misalnya antara Pengadilan Negeri Padang dan
Pengadilan Negeri Solok, Dari pengertian di atas maka pengertian kewenangan
relatif adalah kekuasaan atau wewenang yang diberikan kepada pengadilan dalam
lingkungan peradilan yang sama jenis dan tingkatan yang berhubungan dengan
wilayah hukum Pengadilan dan wilayah tempat tinggal/tempat kediaman atau
domisili pihak yang berperkara.
a.
Kewenangan Relatif
Perkara Gugatan
Pada dasarnya setiap gugatan
diajukan ke Pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi:
·
Gugatan diajukan kepada
pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah kediaman tergugat. Apabila
tidak diketahui tempat kediamannya maka pengadilan di mana tergugat bertempat
tinggal.
·
Apabila tergugat lebih dari
satu orang maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya
meliputi wilayah salah satu kediaman tergugat.
·
Apabila tempat kediaman
tergugat tidak diketahui atau tempat tinggalnya tidak diketahui atau jika
tergugat tidak dikenal (tidak diketahui) maka gugatan diajukan ke pengadilan
yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal penggugat.
·
Apabila objek perkara adalah
benda tidak bergerak, gugatan dapat diajukan ke pengadilan yang wilayah
hukumnya meliputi letak benda tidak bergerak.
·
Apabila dalam suatu akta tertulis
ditentukan domisili pilihan, gugatan diajukan kepada pengadilan yang
domisilinya dipilih.
b.
Kewenangan Relatif
Perkara Permohonan
Untuk
menentukan kekuasaan relatif Pengadilan Agama dalam perkara permohonan adalah
diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon.
Namun dalam Pengadilan Agama telah ditentukan mengenai kewenangan relatif dalam perkara-perkara tertentu, perkara-perkara tersebut adalah sebagai sebagai berikut.
Namun dalam Pengadilan Agama telah ditentukan mengenai kewenangan relatif dalam perkara-perkara tertentu, perkara-perkara tersebut adalah sebagai sebagai berikut.
·
Permohonan ijin poligami
diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon.
·
Permohonan dispensasi
perkawinan bagi calon suami atau istri yang belum mencapai umur perkawinan (19
tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan) diajukan oleh orang tuanya
yang bersangkutan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi
kediaman pemohon.
·
Permohonan pencegahan
perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat
pelaksanaan perkawinan.
·
Permohonan pembatalan
perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi
tempat dilangsungkannya pernikahan atau tempat tinggal suami atau istri.
2.
Kewenangan Absolut
Peradilan Agama
Kewenangan
absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan yang berhubungan
dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Kekuasaan pengadilan di
lingkungan Peradilan Agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang
beragama Islam.
Kewenangan Absolut Sebelum Kemerdekaan:
•
Staatsblaad 1882 No. 152 tidak disebutkan secara tegas kewenangan PA, hanya
disebutkan bahwa wewenang PA itu berdasarkan kebiasaan dan biasanya menjadi
ruang lingkup wewenang PA adalah: hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan,
talak, rujuk, wakaf, warisan.
• Staatsblaad 1937 No. 116 (Jawa dan Madura) : “PA
hanya berwenang memeriksa perselisihan antara suami istri yang beragama Islam
dan perkara-perkara lain yang berkenaan dengan nikah, talak dan rujuk.
Pada masa ini wakaf, tuntutan nafkah, hadhanah, pemecatan
wali nikah, perkara kewarisan, hibah wasiat, sadakah bukan kewenangan PA.
Kewenangan Absolut Setelah Kemerdekaan:
PP No. 45 Tahun 1957: PA berwenang mengadili perkara nikah,
talak, rujuk, fasakh, nafkah, mahar, maskan (tempat kediaman), mut'ah, hadanah,
waris, wakaf, hibah, sadakah, baitul maal. SK. Menag No. 6 Tahun 1980: Nama
untuk peradilan tingkat pertama yaitu Pengadilan Agama. Tingkat Banding
Pengadilan Tinggi Agama.
Pasal 49 s/d 53 UU No. 7 Tahun 1989: “Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara
di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan,
kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam serta wakaf
dan sadakah.
Kewenangan PA saat ini:
Kekuasaan absolut Pengadilan
Agama diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang pada
pokoknya adalah sebagai berikut:
·
perkawinan
·
waris
·
wasiat
·
hibah
·
wakaf
·
zakat
·
infaq
·
shadaqah
·
ekonomi
syari’ah.
Pengadilan Agama
berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
1.
Perkawinan
Dalam bidang
perkawinan meliputi hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang
mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain:
1. izin beristri lebih dari seorang;
2. izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3. dispensasi kawin;
4. pencegahan perkawinan;
5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6. pembatalan perkawinan;
7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;
8. perceraian karena talak;
9. gugatan perceraian;
10. penyelesian harta bersama;
11. penguasaan anak-anak;
12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bilamana bapak yang seharusnya bertangung jawab tidak memenuhinya;
13. penentuan kewajiban memberi biaya peng-hidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14. putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16. pencabutan kekuasaan wali;
17. penunjukkan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
18. menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukkan wali oleh orang tuanya;
19. pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
20. penetapan asal usul seorang anak;
21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
1. izin beristri lebih dari seorang;
2. izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3. dispensasi kawin;
4. pencegahan perkawinan;
5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6. pembatalan perkawinan;
7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;
8. perceraian karena talak;
9. gugatan perceraian;
10. penyelesian harta bersama;
11. penguasaan anak-anak;
12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bilamana bapak yang seharusnya bertangung jawab tidak memenuhinya;
13. penentuan kewajiban memberi biaya peng-hidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14. putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16. pencabutan kekuasaan wali;
17. penunjukkan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
18. menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukkan wali oleh orang tuanya;
19. pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
20. penetapan asal usul seorang anak;
21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.Dalam Kompilasi Hukum Islam juga ada pasal-pasal memberikan kewenangan Peradilan Agama untuk memeriksa perkara perkawinan, yaitu:
23. Penetapan Wali Adlal;
24. Perselisihan penggantian mahar yang hilang sebelum diserahkan.
2. Waris
Yang dimaksud
dengan “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan
mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan
melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan
atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris,
penentuan bagian masing-masing ahli waris.
3. Wasiat
Yang dimaksud
dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat
kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi
tersebut meninggal dunia.
4. Hibah
Yang dimaksud
dengan “hibah” adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan
dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk
dimiliki.
5. Wakaf
Yang dimaksud
dengan “wakaf’ adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk
memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syari’ah.
6. Zakat
Yang dimaksud
dengan “zakat” adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau
badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah
untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
7. Infaq
Yang dimaksud
dengan “infaq” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain
guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan
rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa
ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata’ala.
8.
Shodaqoh
Yang dimaksud
dengan “shadaqah” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang
lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh
waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata’ala dan
pahala semata.
9.
Ekonomi Syari’ah
Yang dimaksud
dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi:
bank syari’ah;
bank syari’ah;
·
lembaga keuangan mikro
syari’ah.
·
asuransi syari’ah
·
reksa dana syari’ah
·
obligasi syari’ah dan surat
berharga berjangka menengah syari’ah
·
sekuritas syari’ah
·
pembiayaan syari’ah
·
pegadaian syari’ah
·
dana pensiun lembaga keuangan
syari’ah
·
bisnis syari’ah.
C. Kedudukan
Peradilan Agama
Gerakan reformasi yang terjadi
pada tahun 1998 yang ditandai dengan runtuhnya
rezim kekuasaan otoriter orde baru di bawah kepemimpinan
mantan Presiden Soeharto, bertujuan membenahi kekeliruan pemerintahan
Indonesia yang terjadi selama 32 tahun berkuasanya kekuasaan
otoriter orde baru dengan membentuk dan membangun pemerintahan
Indonesia yang demokratis, bersih dan berwibawa (clean
governance).
Untuk
merealisasikan tujuan tersebut, Gerakan Reformasi telah mendorong
enam agenda yang harus dikerjakan untuk "mengembalikan". Indonesia pada jalur yang benar. Agenda reformasi
tersebut adalah penegakan supremasi hukum; pemberantasan korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN); mengadili mantan Presiden Soeharto dan
kroninya; amandemen konstitusi; pencabutan dwifungsi TNI/Polri; serta
pemberian otonomi daerah seluas- luasnya. Penegakan
Supremasi hukum sebagai salah satu agenda penting gerakan
reformasi mutlak dilakukan meski secara bertahap berdasarkan tahapan
prioritasnya. Langkah awal yang mesti dilakukan adalah perbaikan system
melalui perubahan dan penyempurnaan peraturan-peraturan yang mendasari
penegakan hukum.
Berdasarkan
Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan
dalam Rangka Menyelamatkan dan Normalisasi Kehidupan Nasional
sebagai Haluan Negara, pengkajian kembali mengenai fungsi eksekutif,
legislative dan yudikatif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia perlu dilakukan. Langkah pengkajian ini diawali
dengan melakukan amandemen terhadap Undang-undang Dasar 1945 karena
Penegakan supremasi hukum tidak mungkin dapat dilakukan tanpa
adanya reformasi hukum dan reformasi hukum pun tidak mungkin
dilakukan tanpa melakukan perubahan terhadap konstitusi (constitusional
reform). Amandemen konstitusi bukanlah sesuatu yang dilarang oleh
hukum, menurut Abraham Amos, Proses amandemen konstitusi juga bukanlah
sesuatu yang bersifat keramat (tabu) terutama untuk memperbaiki hal-hal
substansial yang belum termuat dalam konstitusi.
Salah satu hasil
penting dari amandemen UUD 1945 adalah adanya pemisahan
kekuasaan (separation of power) yang tegas antara cabang kekuasaan
legislative, eksekutif dan yudikatif sehingga diantara ketiga cabang
kekuasaan Negara (power of state) tersebut terjadi checks and balances
padahal
UUD 1945 sebelum di amandemen menganut system pembagian
kekuasaan (division of power).
Oleh sebab
itulah kebijakan pemerintah untuk mengembalikan fungsi ketiga
lembaga tersebut pada porsinya masing-masing nampaknya telah
sesuai dengan keinginan ataupun aspirasi masyarakat Indonesia.
Dalam hal ini
lembaga yudikatif sebagai lembaga tinggi Negara independen yang
terlepas dari campur tangan pemerintah yang membawahi
beberapa lembaga peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer, dan diantara salah
satunya adalah Peradilan Agama yang saat ini mulai bertambah kewenangannya
dengan keluarnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No.7 Tahun 1989 dan selanjutnya yang
telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009.
Bagi peradilan
agama dengan dengan berlakunya undang-undang No.3 Tahun 2006
tentang atas perubahan atas undang-undang No. 7 tahun 1989
diberikan kewenangan baru bagi peradilan agama setelah dilakukannya
amandemen terhadap undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yakni bidang Ekonomi Syariah. Begitu pula
dengan undang-undang No. 4 Tahun 2004, tentang pokok-pokok
kekuasaan kehakiman, salah satunya lembaga peradilan agama sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman semakin jelas kewenangannya, sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama
yang menjadi dasar lahirnya undang-undang No. 3 tahun 2006. Sebagaimana
disebutkan dalam dalam salah satu pasal undangundang tersebut,
yakni, pasal 2 disebutkan bahwa, Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadialan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu. Ini
berarti bahwa secara kelembagaan, kedudukan lembaga peradilan Agama sudah
semakin kuat dan sejajar dengan lingkungan peradilan lainnya.
Bahkan secara kelembagaan peradilan agama juga mengalami
perluasan, khususnya di Nanggroe Aceh Darussalam.
Hal ini sesuai
dengan Undang-Undang No 3 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa; Di lingkungan
Peradilan Agama dapat diadakan pengkhususan pengadilan yang diatur dengan
Undang-Undang. Maksud dari pasal tersebut adalah adanya pengadilan
syariat Islam yang diatur tersendiri dengan Undang-Undang Mahkamah
Syariah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Istimewa Aceh sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Berdasarkan
pemaparan yang telah disampaikan Penulis diatas, jelas bahwa
status dan kedudukan peradilan agama pada masa reformasi ini sudah
semakin kuat. Begitu pula dengan kewenangan yang dimilikinya semakin
semakin bertambah dan semakin luas. Dari sisi status dan kedudukan,
ia tidak lagi dibedakan dengan badan peradilan lain yang ada di Indonesia.
bagi daftar pustakanya dong mba, makasih:)
BalasHapus