KODE ETIK ADVOKAT
A. PENDAHULUAN
Secara historis, Advokat termasuk salah
satu profesi yang tertua. Dalam perjalanannya, profesi ini dinamai sebagai officium nobile, jabatan yang mulia.
Penamaan itu terjadi adalah karena aspek “kepercayaan” dari (pemberi kuasa,
klien) yang dijalankannya untuk mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya di
forum yang telah ditentukan.
Advokat sebagai nama resmi profesi
dalam sistem peradilan kita-kita pertama ditemukan dalam ketentuan Susunan
Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili (RO). Advokat itu merupakan padanan dari
kata Advocaat (Belanda) yakni
seseorang yang telah resmi diangkat untuk menjalankan profesinya setelah
memperoleh gelar meester in de rechten
(Mr). Lebih jauh lagi, sesungguhnya akar kata itu berasal dari kata latin
“advocare, advocator”. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau hampir di
setiap bahasa di dunia kata (istilah) itu dikenal.
Profesi Advokat sebenarnya merupakan
profesi yang relatif sudah tua usianya. Jauh sebelum kemerdekaan nasional,
profesi advokat sudah dikenal dalam masyarakat Indonesia. Pada tahun 1947 telah
diperkenalkan satu peraturan yang mengatur profesi advokat. Peraturan yang
dikenal dengan nama Reglement op de
Rechterlijke organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesia (S. 1847 no.
23 yo S. 1848 no. 57) dengan segala perubahan dan penambahannya, antara lain
menyebutkan advokat adalah juga Procureur.
Melihat kenyataan bahwa undang-undang tentang advokat telah dibuat pada tahun
1947, dapat diduga bahwa profesi sudah dikenal pada tahun 1850-an.
Di samping advokat, pada masa sebelum
kemerdekaan nasional, kita mengenal pokrol
atau sering disebut dalam istilah bahasa Inggris bush lawyer. Mereka adalah pemuka-pemuka masyarakat atau
orang-orang biasa yang setelah memperoleh pendidikan praktek hukum seperti;
Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana, Hukum Perdata, Hukum Pidana, diberikan
izin pengadilan untuk memberikan nasehat hukum atau melakukan pembelaan
masyarakat pencari keadilan di depan pengadilan. Para
pokrol ini kemudian berpraktek pula seperti halnya advokat. Pokrol atau bush lawyer ini sekarang sudah tidak banyak dikenal, dan lambat
laun keberadaannya juga semakin memudar.
B. Pengertian Etika Profesi
Advokat
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani,
“ethos” yang artinya cara berpikir, kebiasaan, adat, perasaan, sikap dll. Dalam
Kamus Bahasa Indonesia, ada 3 (tiga) arti yang dapat dipakai untuk kata Etika
antara lain. Etika sebagai sistem nilai atau sebagai nilai-nilai atau
norma-norma moral yang menjadi pedoman bagi seseorang atau kelompok untuk
bersikap dan bertindak. Etika juga bisa diartikan sebagai kumpulan azas atau
nilai yang berkenaan dengan akhlak atau moral. Selain itu, Etika bisa juga
diartikan sebagai ilmu tentang yang baik dan yang buruk yang diterima dalam
suatu masyarakat, menjadi bahan refleksi yang diteliti secara sistematis dan
metodis.
Dengan
demikian etika adalah norma-norma sosial yang mengatur perilaku manusia secara
normatif tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak harus dilakukan,
merupakan pedoman bagi manusia untuk berperilaku dalam masyarakat. Norma-norma
sosial tersebut dapat dikelompokkan dalam hal yaitu norma kesopanan atau etiket,
norma hukum dan norma moral atau etika. Etiket hanya berlaku pada pergaulan
antar sesama, sedang etika berlaku kapan saja, dimana saja, baik terhadap orang
lain maupun sedang sendirian.
Etika dalam sebuah profesi disusun dalam
sebuah Kode Etik. Dengan demikian Kode
Etik dalam sebuah profesi berhubungan erat dengan nilai sosial manusia yang
dibatasi oleh norma-norma yang mengatur sikap dan tingkah laku manusia itu
sendiri, agar terjadi keseimbangan kepentingan masing-masing di dalam
masyarakat. Jadi norma adalah aturan atau kaidah yang dipakai untuk menilai
sesuatu. Paling sedikit ada tiga macam norma sosial yang menjadi pedoman bagi
manusia untuk berperilaku dalam masyarakat, yaitu norma kesopanan atau etiket,
norma hukum dan norma moral atau etika. Etika atau sopan santun, mengandung
norma yang mengatakan apa yang harus kita lakukan. Selain itu baik etika maupun
etiket mengatur perilaku manusia secara normatif, artinya memberi norma bagi
perilaku manusia. Dengan demikian keduanya menyatakan apa yang harus dilakukan
dan apa yang tidak harus dilakukan.
Rumusan
konkret dari sistem etika bagi profesional dirumuskan dalam suatu kode etik
profesi yang secara harafiah berarti etika yang dikodifikasi atau, bahasa
awamnya, dituliskan. Bertens menyatakan bahwa kode etik ibarat kompas yang
memberikan atau menunjukkan arah bagi suatu profesi dan sekaligus menjamin mutu
moral profesi itu di dalam masyarakat. Anggotanya dengan mengadakan
larangan-larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang akan merugikan
kesejahteraan materiil para anggotanya. Senada dengan Bertens, Sidharta
berpendapat bahwa kode etik profesi adalah seperangkat kaedah perilaku sebagai
pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban suatu profesi.
Yang dimaksud dengan profesi adalah
pekerjaan tetap sebagai pelaksanaan fungsi kemasyarakatan berupa karya
pelayanan yang pelaksanaannya dijalankan secara mandiri dengan komitmen dan
keahlian berkeilmuan dalam bidang tertentu yang pengembangannya dihayati
sebagai panggilan hidup dan terikat pada etika umum dan etika khusus (etika
profesi) yang bersumber pada semangat pengabdian terhadap sesama demi
kepentingan umum, serta berakar dalam penghormatan terhadap martabat manusia (respect for human dignity). Jadi,
profesi itu berintikan praktis ilmu secara bertanggung jawab untuk
menyelesaikan masalah konkret yang dihadapi seorang warga masyarakat.
Pengembanan profesi mencakup bidang-bidang yang berkaitan dengan salah satu dan
nilai-nilai kemanusiaan yang fundamental, seperti keilahian (imam), keadilan
(hukum), kesehatan (dokter), sosialisasi/pendidikan (guru), informasi
(jurnalis).
Etika profesi pada hakikatnya adalah
kesanggupan untuk secara seksama berupaya memenuhi kebutuhan pelayanan
profesional dengan kesungguhan, kecermatan dan keseksamaan mengupayakan
pengerahan keahlian dan kemahiran berkeilmuan dalam rangka pelaksanaan
kewajiban masyarakat sebagai keseluruhan terhadap para warga masyarakat yang
membutuhkannya, yang bermuatan empat kaidah pokok. Pertama, profesi harus dipandang dan dihayati sebagai suatu
pelayanan dengan tidak mengacu pamrih.
Kedua, selaku mengacu kepada kepentingan atau nilai-nilai luhur sebagai
norma kritik yang memotivasi sikap dan tindakan. Ketiga, berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan. Keempat, semangat solidaritas antar
sesama rekan seprofesi demi menjaga kualitas dan martabat profesi.
Dalam konteks profesi, kode etik memiliki karakteristik antara lain
:
·
Merupakan produk terapan, sebab
dihasilkan berdasarkan penerapan etis atas suatu profesi tertentu.
·
Kode etik dapat berubah dan
diubah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek).
·
Kode etik tidak akan berlaku
efektif bila keberadaannya di-drop
begitu saja dari atas sebab tidak akan dijiwai oleh cita-cita dan nilai yang
hidup dalam kalangan profesi sendiri.
·
Kode etik harus merupakan self-regulation (pengaturan diri) dari
profesi itu sendiri yang prinsipnya tidak dapat dipaksakan dari luar.
·
Tujuan utama dirumuskannya kode
etik adalah mencegah perilaku yang tidak etis.
Jadi,
paling tidak ada tiga maksud yang terkandung dalam pembentukan kode etik, yakni
(i) menjaga dan meningkatkan kualitas moral; (ii) menjaga dan meningkatkan
kualitas keterampilan teknis; dan (iii) melindungi kesejahteraan materiil para
pengemban profesi. Kesemua maksud tersebut tergantung pada prasyarat utama,
yaitu menimbulkan kepatuhan bagi yang terikat oleh kode etik tersebut.
Begitu
juga halnya dengan profesi hukum. Setiap profesi hukum mempunyai fungsi dan
peranan tersendiri dalam rangka mewujudkan Pengayoman hukum berdasarkan
Pancasila dalam masyarakat, yang harus diterapkan sesuai dengan mekanisme hukum
berdasarkan perundang-undangan yang berlaku (memenuhi asas legalitas dalam
Negara hukum). Setiap profesi hukum dalam menjalankan tugasnya masing-masing
harus senantiasa menyadari, bahwa dalam proses pemberian Pengayoman hukum,
mereka harus saling isi-mengisi demi tegaknya hukum, keadilan dan kebenaran
yang sesuai dengan jiwa Negara kita yang bersifat integralistik dan
kekeluargaan.
Profesi
hukum adalah profesi untuk mewujudkan ketertiban berkeadilan yang memungkinkan
manusia dapat menjalani kehidupannya secara wajar (tidak perlu tergantung pada
kekuatan fisik maupun finansial). Hal ini dikarenakan Ketertiban berkeadilan
adalah kebutuhan dasar manusia; dan Keadilan merupakan Nilai dan keutamaan yang
paling luhur serta merupakan unsur
esensial dan martabat manusia. Pengemban profesi hukum itu mencakup 4 (empat)
bidang karya hukum, yaitu: 1) Penyelesaian konflik secara formal (peradilan
yang melibatkan profesi hakim, Advokat, dan Jaksa); 2) Pencegahan konflik
(perancangan hukum); 3) Penyelesaian konflik secara informal (mediasi,
negoisasi); 4) Penerapan hukum di luar konflik.
Setiap profesi hukum harus mampu membina dan
mengembangkan cara kerja profesional yang sebaik-baiknya berdasarkan ethika profesi yang luhur. Kemudian
organisasi profesi yang bersangkutan harus mengawasi secara berkala (internal controle) karya
anggota-anggotanya, apakah mereka dalam menjalankan profesinya selalu memegang
teguh pada “high ethical/professional
standards” yang berlaku. Hal ini lebih-lebih berlaku bagi profesi hukum
yang bersifat merdeka/mandiri seperti Hakim dan jabatan-bebas (“vrije
beroepen”) lainnya seperti notaris, pengacara, dokter dan guru besar ilmu
hukum. Bagi profesi-profesi yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat mandiri
dan tidak boleh dipengaruhi oleh pihak luar, maka kemandirian/kebebasan dalam tugasnya haruslah selalu diimbangi
dengan rasa tanggung jawab yang lebih besar pula, karena ia sendirilah yang
bertanggung jawab sepenuhnya atas karyanya kepada hati nurani dan keyakinan
hukumnya sendiri, kepada masyarakat dan akhirnya kepada Tuhan Yang Maha Esa Mengetahui.
Jadi kebebasan yang bertanggung jawab sesuai dengan sumpah jabatannya.
C. Kode Etik Advokat
Tiap profesi termasuk Advokat menggunakan
sistem etika, terutama untuk menyediakan struktur yang mampu menciptakan
disiplin tata kerja, dan menyediakan garis batas tata nilai yang bisa dijadikan
acuan para profesional untuk menyelesaikan dilemma etika yang dihadapi saat
menjalankan fungsi pengemban profesinya sehari-hari. Sistem etika tersebut bisa
juga menjadi parameter bagi berbagai problematika profesi pada umumnya, seperti
menjaga kerahasiaan dalam hubungan klien profesional, konflik kepentingan yang
ada, dan isu-isu yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial profesi.
Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan
profesinya berada di bawah perlindungan hukum, Undang-undang dan kode etik,
memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat yang
berpegang teguh kepada kemandirian, kejujuran, kerahasiaan, dan keterbukaan.
Di dalam Bab II Pasal 2 Kode Etik Advokat
Indonesia Tentang Kepribadian Advokat, disebutkan:
“Advokat Indonesia adalah warga Negara Indonesia yang bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan
keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang
dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia, kode etik Advokat serta sumpah jabatannya”.
Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi
moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya
menjunjung tinggi hukum, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, kode etik
Advokat serta sumpah jabatannya adalah “kepribadian
yang harus dimiliki oleh setiap Advokat”.
Kode etik yang mengatur mengenai kepribadian
advokat sangat berkaitan erat dengan Ethika. Ethika merupakan filsafat moral
untuk mendapatkan petunjuk tentang perilaku yang baik, berupa nilai-nilai luhur
dan aturan-aturan pergaulan yang baik dalam hidup bermasyarakat dan kehidupan
pribadi seseorang. Ethika moral ini menumbuhkan kaedah-kaedah atau norma-norma
ethika yang mencakup theori nilai tentang hakekat apa yang baik dan apa yang
buruk, dan theori tentang perilaku (“conduct”) tentang perbuatan mana yang baik
dan mana yang buruk.
Moral ini berkaitan erat dengan pandangan
hidup, agama atau kepercayaan maupun adat-kebiasaan masyarakat yang
bersangkutan. Bangsa Indonesia mempunyai Pancasila sebagai dasar ideologi
Negara dan pandangan hidup dan jati diri bangsa Indonesia, sehingga nilai-nilai
Pancasila harus menjadi landasan ethika moral bangsa Indonesia, termasuk sila
Pertama dari Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menunjukkan bahwa,
seluruh bangsa Indonesia adalah bangsa yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, termasuk di dalamnya adalah seorang Advokat.
Dari ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 3
huruf a. Kode Etik Advokat Indonesia dapat disimpulkan bahwa seorang advokat,
dalam menjalankan profesinya, harus selalu berpedoman kepada:
·
Kejujuran profesional (professional honesty) sebagaimana
terungkap dalam Pasal 3 huruf a. Kode Etik Advokat Indonesia dalam kata-kata
“Oleh karena tidak sesuai dengan keahilannya”, dan
·
Suara hati nurani (dictate of conscience).
Keharusan bagi
setiap advokat untuk selalu berpihak kepada yang benar dan adil dengan
berpedoman kepada suara hati nuraninya berarti bahwa bagi advokat Indonesia
tidak ada pilihan kecuali menolak setiap perilaku yang berdasarkan “he
who pays the piper calls the tune” karena pada hakikatnya perilaku
tersebut adalah pelacuran profesi advokat.
Keperluan bagi advokat untuk selalu bebas
mengikuti suara hati nuraninya adalah karena di dalam lubuk hati nuraninya,
manusia menemukan suatu satu hukum yang harus ia taati. Suara hati nurani
senantiasa mengajak manusia untuk melakukan yang baik dan mengelakkan yang
jahat. Hati nurani adalah inti yang paling rahasia dan sakral dari manusia. Di
sana ia berada sendirian dengan Allah, suara siapa bergema dalam lubuk hatinya.
Makin berperan hati nurani yang benar, maka makin banyak advokat akan
meninggalkan sikap dan perilaku sesuka hati dan berusaha dibimbing oleh
kaidah-kaidah moral yang objektif.
Dalam proses penegakan hukum ini, kita para
lawyers baik di bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif, maupun di bidang
pemberian jasa hukum harus berperan secara positif-konstruktif untuk ikut
menegakkan hukum yang berkeadilan. Janganlah berperan secara negatif-destraktif
dengan menyalahgunakan hukum, sehingga akhir-akhir ini muncul tuduhan adanya
“mafia peradilan”, penyelewengan hukum, kolusi hukum dan penasehat hukum yang
pinter-busuk (“advocaat in kwade zaken”) yang memburamkan Negara kita sebagai
Negara hukum.
Satu-satunya profesi yang menyandang
predikat sebagai profesi terhormat (officium
nobile) adalah Advokat. Predikat itu sesungguhnya bukan “gelar kehormatan”
yang diberikan masyarakat atau penguasa, karena para advokat telah berjasa
kepada masyarakat dan Negara. Akan tetapi, predikat itu muncul karena tanggung
jawab yang dibebankan kepada advokat.
Setiap advokat, di dalam menjalankan
profesinya sebagai profesi yang dinamik dan terhormat (officium nobile) haruslah memegang teguh dan mengamalkan Pancasila
sebagai dasar Negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan
melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur,
adil, dan bertanggungjawab berdasarkan hukum dan keadilan (Pasal 4 ayat (2)
UUNo. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat).
D. PELAKSANAAN KODE ETIK
ADVOKAT DAN UNDANG-UNDANG ADVOKAT
Berkaitan dengan UU Advokat No. 18 tahun
2003 maka disusun Kode Etik Advokat Indonesia, hal ini bertujuan untuk menjaga
martabat dan kehormatan profesi Advokat (Pasal 26 Bab IX ayat 1); UU tersebut
juga mengatur bagaimana seorang Advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik
profesi Advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat (ayat
2); Kode etik profesi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (ayat 3); Pengawasan atas pelaksanaan
kode etik profesi Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat (ayat 4). Kode etik
juga mengatur tentang susunan, tugas, dan kewenangan Dewan Kehormatan
Organisasi Advokat.
Pada dasarnya, Kode Etik Advokat dan
Undang-Undang Advokat mengatur tentang hubungan Advokat dengan Klien dan
Hubungan Advokat dengan teman sejawat. Hubungan antara Advokat dengan klien
diatur di dalam Pasal 4 Kode Etik Advokat, yaitu:
J Advokat dalam perkara-perkara perdata harus mengutamakan
penyelesaian dengan jalan damai.
J Advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan yang dapat
menyesatkan klien mengenai perkara yang sedang diurusnya.
J Advokat tidak dibenarkan
menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang ditanganinya akan menang.
J Dalam menentukan besarnya honorarium Advokat wajib mempertimbangkan
kemampuan klien.
J Advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang
tidak perlu.
J Advokat dalam mengurus perkara Cuma-Cuma harus memberikan perhatian
yang sama seperti terhadap perkara untuk mana ia menerima uang jasa.
J Advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut keyakinannya
tidak ada dasar hukumnya.
J Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang
diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu
setelah berakhirnya hubungan antara advokat dan klien itu.
J Advokat tidak dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan kepadanya
pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien atau pada saat tugas itu akan
dapat menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi klien yang
bersangkutan, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf (a).
J Advokat mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus
mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan kepentingan-kepentingan tersebut,
apabila dikemudian hari timbul pertentangan kepentingan antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
J Hak retensi Advokat terhadap klien diakui sepanjang tidak akan
menimbulkan kerugian kepentingan klien.
Hubungan antara Advokat dengan klien sangat
erat kaitannya dengan pekerjaan uatama Advokat sebagai profesi seperti: a)
pemberian nasihat hukum kepada masyarakat yang memerlukannya; b) pembelaan
kepentingan masyarakat; c) membuat draf kontrak (perjanjian) bagi kepentingan
para pihak yang berminat untuk mengadakan hubungan dagang atau hubungan kerja;
d) memfasilitasi kepentingan masyarakat yang menjadi kliennya dalam suatu
proses perundingan guna menyelesaikan perselisihan hukum; e) dan lain-lain
bentuk pelayanan hukum yang diperlukan dunia usaha.
Adapun hubungan antar Advokat dengan Teman Sejawat, diatur di dalam
Pasal 5 Kode Etik Advokat, yaitu:
a.
Hubungan antara teman sejawat
Advokat harus dilandasi sikap saling menghormati, saling menghargai dan saling
mempercayai.
b.
Advokat jika membicarakan teman
sejawat atau jika berpapasan satu sama lain dalam sidang pengadilan, hendaknya
tidak menggunakan kata-kata yang tidak sopan baik secara lisan maupun tertulis.
c.
Keberatan-keberatan terhadap
tindakan teman sejawat yang dianggap bertentangan dengan kode etik Advokat
harus diajukan kepada Dewan Kehormatan untuk diperiksa dan tidak dibenarkan
untuk disiarkan. Melalui media massa atau cara lain.
d.
Advokat tidak diperkenankan
menarik atau merebut seorang klien dari teman sejawat.
e.
Apabila klien hendak mengganti
Advokat, maka Advokat yang baru hanya dapat menerima perkara itu setelah
menerima bukti pencabutan pemberian kuasa kepada Advokat semula dan
berkewajiban mengingatkan klien untuk memenuhi kewajibannya apabila masih ada
terhadap Advokat semula.
f.
Apabila suatu perkara kemudian
diserahkan oleh klien terhadap Advokat baru, maka Advokat semula wajib
memberikan kepadanya semua surat dan keterangan yang penting untuk mengurus
perkara itu, dengan memperhatikan hak retensi Advokat terhadap klien tersebut.
E. FUNGSI DEWAN KEHORMATAN
SEBAGAI INSTRUMEN PENJAGA KEHORMATAN PROFESI DAN MEKANISME PENGADUAN
Kode Etik Advokat Indonesia merupakan suatu
pedoman dan suatu kumpulan ketentuan dasar yang memberi arah kepada pelaksanaan
profesi advokat Indonesia. Mengapa? Teristimewa karena Undang-Undang Advokat
itu sendiri telah menegaskan bahwa advokat berstatus sebagai penegak hukum. Itu
sangat penting kita selalu ingat. Kita adalah satu yang dipercayakan,
diamanatkan, ditugaskan sebagai penegak hukum, di samping tentu saja
penegak-penegak hukum lainnya seperti hakim, polisi, jaksa, dan sebagainya.
Dalam kaitan itulah advokat juga diberi
sarana yang mutlak harus dimiliknya, yaitu kebebasan dan kemandirian yang
dijamin oleh hukum dan perundang-undangan. Tanpa itu, mustahil dia dapat
menjalankan fungsinya mewujudkan panggilan sebagai penegak hukum. Dari sini
kelihatan sekali bahwa kebebasan kemandirian semata-mata suatu sarana, bukan
tujuan. Berarti pula bahwa hanya sejauh kebebasan dan kemandirian itu dipakai
dengan penuh tanggung jawab dan itikad baik, maka advokat berhak mendapat
perlindungan dalam kebebasan dan kemandirian melaksanakan profesinya.
Mengapa advokat perlu diberi perlindungan?
Karena sesungguhnya advokat merupakan pengemban tugas mulia yang dalam bahasa
Latin disebut officium nobile, a noble
office, sehingga di situlah dia harus mewujudkan panggilan dan harus selalu
bersikap mandiri, jujur dan yang teristimewa adalah terbuka. Terbuka juga pada
sesamanya yang dapat memberikan arahan dan teguran kepada advokat yang
bersangkutan. Konsekuensinya adalah setiap advokat Indonesia harus menjaga
citra dan martabat kehormatan profesi advokat, setia menjunjung serta taat asas
Kode Etik Advokat Indonesia.
Karenanya diperlukan Dewan Kehormatan untuk
menjamin terlaksananya secara taat asas Kode Etik advokat Indonesia. Jadi peran
Dewan Kehormatan sangat menentukan. Tanpa itu sebenarnya semua ini menjadi
mandul.
Kode Etik Advokat Indonesia telah mengatur
Tata Cara Pengaduan secara jelas di dalam Pasal 12 Kode Etik Advokat Indonesia,
yaitu:
1.
Pengaduan terhadap Advokat
sebagai teradu yang dianggap melanggar kode etik Advokat harus disampaikan
secara tertulis disertai dengan alasan-alasannya kepada Dewan Kehormatan
Cabang/Daerah atau kepada Dewan Pimpinan Cabang/Daerah atau Dewan Pimpinan
Pusat dimana teradu menjadi anggota.
2.
Bilamana di suatu tempat tidak
ada cabang/daerah organisasi, pengaduan disampaikan kepada Dewan Kehormatan
Cabang/Daerah terdekat atau Dewan Pimpinan Pusat.
3.
Bilamana pengaduan disampaikan
kepad Dewan Pimpinan Cabang/Daerah maka Dewan Pimpinan Cabang/Daerah meneruskannya
kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang berwenang untuk memeriksa pengaduan
itu.
4.
Bilamana pengaduan disampaikan
kepada Dewan Pimpinan Pusat/Dewan
Kehormatan Pusat meneruskannya kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah
yang berwenang untuk memeriksa pengaduan itu baik langsung atau melalui Dewan
Pimpinan Cabang/Daerah.
Di
dalam pelaksanaan kode etik Advokat, sering sekali terjadi
pelanggaran-pelanggaran terhadap kode etik yang dilakukan oleh para Advokat.
Terhadap pelanggaran-pelanggaran kode etik Advokat tersebut, Kode Etik Advokat
telah mengatur mengenai hukum acara pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh
Advokat. Dalam Pasal 10 ayat (2) Kode Etik Advokat, disebutkan: Pemeriksaan
suatu pengaduan dapat dilakukan melalui dua tingkat, yaitu: Tingkat Dewan
Kehormatan Cabang/Daerah dan Tingkat Dewan Kehormatan Pusat.
Mengenai
Pemeriksaan Tingkat Pertama oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah diatur dalam
Pasal 13 Kode Etik Advokat, yaitu:
1)
Dewan Kehormatan Cabang/Daerah
setelah menerima pengaduan tertulis yang disertai surat-surat bukti yang
dianggap perlu, menyampaikan surat pemberitahuan selambat-lambatnya dalam waktu
14 (empat belas) hari dengan surat kilat khusus/tercatat kepada teradu tentang
adanya pengaduan dengan menyampaikan salinan/copy surat pengaduan tersebut.
2)
Selambat-lambatnya dalam waktu
21 (dua puluh satu) hari pihak teradu harus memberikan jawabannya secara
tertulis kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang bersangkutan disertai
surat-surat bukti yang dianggap perlu.
3)
Jika dalam waktu 21 (dua puluh
satu) hari tersebut teradu tidak memberikan jawabannya secara tertulis. Dewan
Kehormatan Cabang/Daerah menyampaikan pemberitahuan kedua dengan peringatan
bahwa apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal surat peringatan
tersebut ia tetap tidak memberikan jawaban tertulis maka ia dianggap telah
melepaskan hak jawabnya.
4)
Dalam hal teradu tidak
menyampaikan jawaban sebagaimana diatur di atas dan dianggap telah melepaskan
hak jawabnya, Dewan Kehormatan Cabang/Daerah dapat segera menjatuhkan putusan
tanpa kehadiran pihak-pihak yang bersangkutan.
5)
Dalam hal jawaban yang diadukan
telah diterima, maka Dewan Kehormatan dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat
belas) hari menetapkan hari sidang dan menyampaikan panggilan secara patut
kepada teradu untuk hadir di persidangan yang sudah ditetapkan tersebut.
6)
Panggilan-panggilan tersebut
harus sudah diterima oleh yang bersangkutan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum
hari sidang yang ditentukan.
7)
Pengadu dan yang teradu harus
hadir secara pribadi dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain, yang jika
dikehendaki masing-masing dapat didampingi oleh penasehat dan berhak untuk
mengajukan saksi-saksi dan bukti.
8)
Pada sidang pertama yang
dihadiri kedua belah pihak:Dewan Kehormatan akan menjelaskan tata cara pemeriksaan
yang berlaku; dan perdamaian hanya dimungkinkan bagi pengaduan yang bersifat
perdata atau hanya untuk kepentingan pengadu dan teradu dan tidak mempunyai
kaitan langsung dengan kepentingan organisasi atau umum, dimana pengadu akan
mencabut kembali pengaduannya atau dibuatkan akta perdamaian yang dijadikan
dasar keputusan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang langsung mempunyai
kekuatan hukum yang pasti. Kemudian, kedua belah pihak diminta mengemukakan
alasan-alasan pengaduannya atau pembelaannya secara bergiliran, sedangkan
surat-surat bukti akan diperiksa dan saksi-saksi akan didengar oleh Dewan
Kehormatan Cabang/Daerah.
9)
Apabila pada sidang yang
pertama kalinya salah satu pihak tidak hadir maka Sidang ditunda sampai dengan
sidang berikutnya paling lambat 14 (empat belas) hari dengan memanggil pihak
yang tidak hadir secara patut. Apabila pengadu yang telah dipanggil sampai 2
(dua) kali tidak hadir tanpa alasan yang sah, pengaduan dinyatakan gugur dan ia
tidak dapat mengajukan pengaduan lagi atas dasar yang sama kecuali Dewan
Kehormatan Cabang/Daerah berpendapat bahwa materi pengaduan berkaitan dengan
kepentingan umum atau kepentingan organisasi. Apabila
teradu telah dipanggil sampai 2 (dua) kali tidak datang tanpa alasan yang sah,
pemeriksaan diteruskan tanpa hadirnya teradu. Dewan berwenang untuk memberikan
keputusan di luar hadirnya yang teradu, yang mempunyai kekuatan yang sama
seperti kekuatan biasa.
Sedangkan mengenai pemeriksaan suatu
pengaduan yang dilakukan melalui Tingkat Dewan Kehormatan Pusat, dilakukan
dalam hal Pemeriksaan Tingkat Banding, seperti yang diatur dalam Pasal 18 Kode
Etik Advokat, yaitu:
1.
Apabila pengadu atau teradu
tidak puas dengan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/Daerah, ia berhak
mengajukan permohonan banding atas keputusan tersebut kepada Dewan Kehormatan
Pusat.
2.
Pengajuan permohonan banding
beserta Memori Banding yang sifatnya wajib, harus disampaikan melalui Dewan
Kehormatan Cabang/Daerah dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak tanggal
yang bersangkutan menerima salinan.
3.
Dewan Kehormatan Cabang/Daerah
setelah menerima Memori Banding yang bersangkutan selaku pembanding,
selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak penerimaannya,
mengirimkan salinannya melalui surat kilat khusus/tercatat kepada pihak lainnya
selaku terbanding.
4.
Pihak terbanding dapat
mengajukan Kontra Memori Banding selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh
satu) hari sejak penerimaan Memori Banding.
5.
Jika jangka waktu yang
ditentukan terbanding tidak menyampaikan Kontra Memori Banding ia dianggap
telah melepaskan haknya untuk itu.
6.
Selambat-lambatnya dalam waktu
14 (empat belas) hari sejak berkas perkara dilengkapi dengan bahan-bahan yang
diperlukan, berkas perkara tersebut diteruskan oleh Dewan Kehormatan
Cabang/Daerah kepada Dewan Kehormatan Pusat.
7.
Pengajuan permohonan banding
menyebabkan ditundanya pelaksanaan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/Daerah.
8.
Dewan Kehormatan Pusat memutus
dengan susunan majelis yang terdiri sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang anggota
atau lebih tetapi harus berjumlah ganjil yang salah satu merangkap Ketua
Majelis.
9.
Majelis dapat terdiri dari
Dewan Kehormatan atau ditambah dengan Anggota Majelis Kehormatan Ad Hoc yaitu
orang yang menjalankan profesi di bidang hukum serta mempunyai pengetahuan dan
menjiwai kode etik advokat.
10. Majelis dipilih dalam rapat Dewan Kehormatan Pusat yang khusus
diadakan untuk itu yang dipimpin oleh Ketua Dewan Kehormatan Pusat atau jika
dia berhalangan oleh anggota Dewan lainnya yang tertua.
11. Dewan Kehormatan Pusat memutus berdasar bahan-bahan yang ada dalam
berkas perkara, tetapi jika dianggap perlu dapat meminta bahan tambahan dari
pihak-pihak yang bersangkutan atau memanggil mereka langsung atas biaya
sendiri.
12. Dewan Kehormatan Pusat secara prerogasi dapat menerima permohonan
pemeriksaan langsung dari suatu perkara yang diteruskan oleh Dewan Kehormatan
Cabang/Daerah asal saja permohonan seperti itu dilampiri surat persetujuan dari
kedua belah pihak agar perkaranya diperiksa langsung oleh Dewan Kehormatan
Pusat.
13. Semua ketentuan yang berlaku untuk pemeriksaan pada tingkat pertama
oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah, mutatis mutandis berlaku untuk pemeriksaan
pada tingkat banding oleh Dewan Kehormatan Pusat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar