BAB
I
PENDAHUL
UAN
A.
Latar Belakang
Salah satu cita-cita perjuangan bangsa Indonesia
adalah terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945, seiring dengan tujuan pembangunan nasional adalah mewujudkan
kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh rakyat Indonesia secara adil dan
merata. Salah satu unsur pokok kesejahteraan rakyat adalah terpenuhinya
kebutuhan perumahan, yang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap warga negara
Indonesia dan keluarganya, sesuai harkat dan martabatnya sebagai manusia.[1] Perumahan
sangat berpengaruh dalam pembentukan kepribadian bangsa. Perumahan tidak hanya
dilihat sebagai sarana kebutuhan hidup, tetapi perumahan merupakan salah satu
kebutuhan dasar manusia, yang berfungsi dalam mendukung terselenggaranya
pendidikan, keluarga, persemaian budaya, peningkatan kualitas generasi yang
akan datang dan berjati diri serta menciptakan tatanan hidup yang baik di dalam masyarakat.
Di Indonesia, kebutuhan terhadap perumahan juga
telah mengalami peningkatan, sebagaimana yang terjadi pada masyarakat dunia,
terutama pada masyarakat perkotaan, di mana populasi penduduknya sangat besar,
sehingga memaksa pemerintah maupun swasta untuk melaksanakan pembangunan,
terutama di bidang perumahan.
Pembangunan
perumahan merupakan salah satu hal penting dalam strategi pengembangan wilayah,
yang menyangkut aspek-aspek yang luas di bidang kependudukan, dan berkaitan
erat dengan pembangunan ekonomi dan kehidupan sosial dalam rangka pemantapan
ketahanan nasional. Terkait hal tersebut maka pembangunan perumahan dan
pemukiman sebagaimana yang tertuang ditujukan untuk ;[2]
1. Memenuhi
kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, dalam rangka
peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
2. Mewujudkan
pemukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, teratur.
3. Memberi
arah pada pertumbuhan wilayah dan persebaran penduduk yang rasional.
4. Menunjang
pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya dan bidang lainnya.
Dengan demikian sasaran pembangunan perumahan dan
pemukiman adalah untuk menciptakan lingkungan dan ruang hidup manusia yang
sesuai dengan kebutuhan hidup yang hakiki, yaitu agar terpenuhinya kebutuhan
akan keamanan, perlindungan, ketenangan, pengembangan diri, kesehatan dan
keindahan serta kebutuhan lainnya dalam pelestarian hidup manusiawi.
Untuk memenuhi
kebutuhan rakyat akan perumahan dan pemukiman yang dapat terjangkau oleh
masyarakat yang berpenghasilan rendah dan/ atau untuk memenuhi tuntutan atau
pemenuhan pola hidup modern berupa bangunan pasar modern dan pemukiman modern,
pemerintah selalu dihadapkan pada permasalahan keterbatasan luas tanah yang
tersedia untuk pembangunan terutama di daerah perkotaan yang berpenduduk padat.
Demi meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah yang jumlahnya terbatas
tersebut, terutama bagi pembangunan perumahan dan pemukiman, serta
mengefektifkan penggunaan tanah terutama di daerah-daerah yang berpenduduk
padat, maka perlu adanya pengaturan, penatan dan penggunaan atas tanah,
sehingga bermanfaat bagi masyarakat banyak. Apalagi jika di hubungkan dengan hak
asasi, maka tempat tinggal (perumahan dan pemukiman) merupakan hak bagi setiap warga Negara, sebagaimana diatur dalam
pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi : “Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
layanan kesehatan.”
Dan sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 Tentang
Perumahan dan Permukiman pada Pasal 5 Ayat 1 yang berbunyi: “Setiap warga
Negara mempunyai hak
untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau
memiliki rumah rumah
yang layak dalam
lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur.”
Pembangunan
rumah susun adalah suatu cara yang jitu untuk memecahkan masalah kebutuhan dari
pemukiman dan perumahan pada lokasi yang padat, terutama pada daerah perkotaan
yang jumlah penduduk selalu meningkat, sedangkan tanah kian lama kian terbatas
serta sebagai upaya pemerintah guna memnuhi masyarakat perkotaan akan papan
yang layak dalam lingkungan yang sehat.
Pembangunan rumah susun tentunya juga dapat mengakibatkan terbukanya ruang kota
sehingga menjadi lebih lega dan dalam hal ini juga membantu adanya peremajaan
dari kota, sehingga makin hari maka daerah kumuh berkurang dan selanjutnya menjadi
daerah yang rapih, bersih, dan teratur. Pengertian
rumah susun menurut UU No. 20
Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun) adalah bangunan gedung bertingkat
yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagianbagian yang distrukturkan secara
fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan
satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah,
terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Rumah susun
tersebut terdiri dari dua bagian yaitu rumah susun sederhana milik dan rumah
susun sederhana sewa. Praktek di masyarakat, banyak masyarakat yang masih belum
mampu membuat rumah sendiri, sehingga pemerintah mendirikan rumah susun bagi
masyarakat yang belum mampu memiliki rumah sendiri dengan cara menyewakannya. Menyewa
rumah tentu saja memiliki keterbatasan-keterbatasan dan laranganlarangan,
terutama terbatas waktu yang harus dipenuhi oleh calon penyewa atau penghuninya
dan adanya hak dan kewajiban masing-masing apabila penghuni tersebut tidak
memenuhi peraturan tersebut maka pihak pengelola akan memberikan sanksi.
Masyarakat yang
ingin tinggal di rumah susun sewa terlebih dahulu harus membicarakan dengan
pihak pengelola atau dalam hal ini diperlukan adanya perjanjian sewa-menyewa
rumah tinggal antara pihak penyewa dengan pihak yang menyewakan. Pihak yang
menyewakan tidak diwajibkan menjamin si penyewa terhadap rintangan-rintangan
dalam penggunaan dan kenikmatannya yang diperoleh atau dilakukan oleh orang-orang
pihak ke tiga atau adanya peristiwa-peristiwa tanpa mengajukan suatu hak atas
penyewa untuk melakukan tuntutan atas penyimpangan perjanjian sewa-menyewa
rumah. Gangguan gangguan dengan peristiwa-peristiwa itu harus ditanggulangi
oleh si penyewa. Sipenyewa terikat dengan kewajiban melakukan
pembetulan-pembetulan kecil apabila selama disewa mengalami kerusakan.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk
membuat karya tulis dalam bentuk makalah
dengan judul ASPEK-ASPEK DALAM PEMBANGUNAN RUMAH
SUSUN SEDERHANA SEWA (RUSUNAWA) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2011
TENTANG RUMAH SUSUN.
B. Perumusan
Masalah
1.
Apakah
aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam pembangunan Rumah Susun Sederhana
Sewa (Rusunawa)?
2.
Apakah
kendala-kendala yang dihadapi dalam pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa
(Rusunawa)?
C. Tujuan
Penelitian
1.
Untuk
mengetahui aspek-aspek dalam pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa).
2.
Untuk
mengetahui kendala-kendala dalam pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa).
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Aspek-aspek
dalam pembangunan Rumah Susun Sedehana Sewa
Rusunawa, adalah
bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi
dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal
maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masingmasing digunakan secara
terpisah, status penguasaannya sewa serta dibangun dengan menggunakan dana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah dengan fungsi utamanya sebagai hunian. Rusunawa dapat diartikan sebagai
berikut, bangunan gedung bertingkat yang dibangun di suatu lingkungan baik
dalam arah horisontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang
digunakan secara terpisah, status penguasaannya sewa dengan fungsi utamanya
sebagai hunian.
Aspek-aspek dalam pembangungan Rusunawa antara lain:[3]
1.
Aspek
Kontribusi Calon Penghuni
Dalam Inpres nomor 05/1990 tentang Peremajaan
Pemukiman Kumuh di atas Tanah Negara, disebutkan bahwa dalam menentukan lokasi
pemukiman kumuh yang akan diremajakan, disamping harus sesuai dengan Pola Dasar
Rencana Pembangunan Daerah dan/atau Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK), perlu
ada pendekatan kepada masyarakat setempat agar masyarakat berperan secara aktif
dalam proses peremajaan tersebut. Sedangkan dalam Kepmenpera nomor 06/KPTS/1994 tentang Pedoman
Umum Pembangunan Perumahan Bertumpu Pada Kelompok, disebutkan bahwa pembangunan perumahan yang bertumpu pada
masyarakat adalah pola pembangunan yang mendudukan masyarakat
(individu/kelompok) sebagai pelaku utama dan penentu dimana semua keputusan dan
tindakan pembangunan didasarkan pada aspirasi masyarakat, kepentingan
masyarakat, Kemampuan masyarakat, Upaya masyarakat.
2.
Aspek
Keselamatan
Lampiran Menteri Pekerjaan Umum nomor 05/PRT/M/2007
tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah
Susun Sederhana Bertingkat Tinggi menyebutkan struktur bangunan rumah susun
sederhana bertingkat tinggi harus direncanakan secara terinci sehingga pada
kondisi pembebanan maksimum yang direncanakan, apabila terjadi keruntuhan
kondisi strukturnya masih memungkinkan penghuni menyelamatkan diri. Rumah
merupakan wadah/penampungan yang tujuan utamanya adalah meneduhi dan melindungi
penghuni dan isinya.
3.
Aspek
Iklim
Di dalam lampiran Menteri Pekerjaan Umum nomor
05/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Susun Sederhana
Bertingkat Tinggi dikatakan sebagai berikut:
a.
Ventilasi
Alami
Bangunan rusuna bertingkat tinggi harus mempunyai bukaan permanen,
kisi-kisi pada pintu dan jendela dan/atau bukaan permanen yang dapat dibuka untuk kepentingan ventilasi
alami.
b.
Pencahayaan
Alami
Bangunan rusuna bertingkat tinggi harus mempunyai bukaan untuk
pencahayaan alami yang optimal, disesuaikan dengan fungsi bangunan hunian dan
fungsi masing-masing ruang di dalamnya. Pembangunan perumahan sangat berkaitan
dengan iklim dimana bangunan tersebut dibangun.
4.
Aspek
Budaya
Rumah adalah suatu lembaga bukan hanya struktur, yang
dibuat untuk berbagai tujuan yang kompleks. Karena membangun suatu rumah
merupakan suatu gejala budaya, maka bentuk dan pengaturan ini sangat
dipengaruhi oleh budaya lingkungan pergaulan dimana bangunan tersebut berada.
5.
Aspek
Keterjangkauan
Sesuai PERMENPERA omor 18/PERMEN/M/2007 menyebutkan
kriteria penetapan tarif rusunawa harus
terjangkau oleh masyarakat menengah bawah khususnya MBR dengan besaran tarif
tidak lebih besar 1/3 dari penghasilan, sedangkan kriteri besaran tarif
ditetapkan dengan diferensiasi
dan subsidi silang antar kelompok tarif
penghuni. Menurut Turner, permintaan efektif bila rumah tangga memiliki
akses pilihan yang nyata dan seimbang antara harga dan pendapatan. Suatu
keluarga dikatakan mampu membayar sewa rumah (ataupun angsuran sewa beli) jika
persentase pengeluaran untuk sewa rumah ditambah biaya utilitas dasar, pajak dan asuransi adalah 20 sampai
dengan 30% dari total pendapatan.
6.
Ketersediaan
Sarana dan Prasarana
Perumahan bukan merupakan tempat perlindungan atau
hanya fasilitas rumah tangga saja, tetapi terdiri dari sejumlah fasilitas,
servis, dan utilitas yang menghubungkan individu dengan keluarganya untuk
berkumpul dan bermasyarakat pada daerah yang tumbuh dan berkembang.
Kriteria Rusunawa yang Sesuai untuk Permukiman Kembali
(Resettlement), antara lain:
a.
Alasan
utama masyarakat tinggal, yaitu karena dekat dengan tempat kerja. Lokasi hunian
yang dekat dengan tempat kerja membuat
penyewa lebih memilih berjalan
kaki ke lokasi kerja. Hal ini dilakukan untuk menghemat pengeluaran. Dengan melihat
kondisi ini, maka penempatan lokasi rusunawa harus berada dalam radius jangkauan
pejalan kaki menuju tempat kerja dan tempat melakukan aktifitas harian.
b.
Dalam
menentukan luas hunian sebaiknya menggunakan luas hunian tempat asal sebagai luas minimum. Atau
menggunakan standar luas Pusdiklat 7,2 m2/org atau standar Kepmen PU 9m2/org.
Untuk mengatasi keberagaman luas hunian maka sebaiknya menggunakan modul
fleksibel (kelipatan 3). Hunian perlu dilengkapi dengan fasilitas pribadi
berupa ruang tidur, km/wc dan dapur.
c.
Tingkat
interaksi antar warga Rusunawa yang sangat tinggi.
Untuk mengakomodasi kebiasaan ini, maka bentuk koridor yang bisa digunakan adalah koridor tengah. Koridor ini
harus di bangun di semua lantai tingkatannya agar proses interaksi secara
horisontal tetap terjaga. Lebar koridor tengah yang dapat diterapkan adalah 2,4
m (20% dari luas keseluruhan sarusunawa di masing-masing lantai). Sedangkan
akses secara vertikal yaitu tangga yang berfungsi tidak hanya mempermudah
penghuni berpindah dari lantai satu ke
lantai lainnya (sebagai akses keluar-masuk) dengan berjalan kaki, tapi juga
berfungsi sebagai tempat interaksi penghuni secara vertikal maupun horisontal.
Untuk itu lebar tangga minimal dapat memuat 2 orang. Lebar tangga yang
disyaratkan minimal 1,20 m. Di setiap lantai perlu juga disediakan ruang
bersama, sebagai tempat sosialisasi.
d.
Kondisi
permukiman di lokasi penelitian, menunjukan semua hunian memiliki ventilasi. Untuk itu penghawaan di
rusunawa harus memiliki bukaan permanen yang cukup besar menghadap arah ruang
terbuka dan teras. Bukaan permanen udara paling sedikit adalah 5% dari luas
lantai sarusunawa. Untuk penerangan alami, perlu penyediaan jendela-jendela
yang besarnya cukup. Luas jendela paling sedikit 15% dari luas lantai sarusuna
untuk menerangi ruang-ruang yang ada di dalamnya. Orientasi jendela dan
ventilasi harus sama.
e.
Jika
dilihat penghasilan rata-rata, maka masyarakat
pengguna rusunawa adalah mereka yang
dikelompokkan ke dalam masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Untuk itu
biaya sewa satuan rusunawa untuk setiap keluarga adalah maksimal sekitar 1/3
bagian dari pendapatan per bulan.
f.
Dalam
suatu lingkungan rusunawa harus tersedia prasarana untuk
memberikan kemudahan bagi penghuni. Prasarana-prasarana yang harus
disediakan antara lain berupa :
1.
Jalan
Klasifikasi jalan pada lingkungan rusunawa perlu disesuaikan dengan lokasi
dimana rusunawa itu dibangun.
2.
Air
Minum
Lingkungan rusunawa ini harus menyediakan sumber air bersih bagi
penghuninya. Sumber air bersih ini sedapat mungkin disediakan per unit atau per
lantai dan tidak secara sentral untuk seluruh area rusunawa. Kebutuhan air
bersih dari tiap rumah tangga yaitu 100 liter/hari untuk setiap anggota
keluarga, dengan kualitas jernih, tidak berasa dan tidak berbau.
3.
Air
Limbah
Lingkungan rusunawa harus memiliki sarana pengolahan air limbah, baik yang
berasal dari air bekas cucian, mandi ataupun kakus. Karena rusunawa memiliki
fungsi yang hampir sama dengan perumahan, maka air limbah rumah tangga
pengelolaannya cukup dengan menyediakan septic tank dan sumur resapan.
4.
Pembuangan
Sampah
Dari hasil pengamatan, salah satu kebiasaan masyarakat tepian sungai adalah
membuang sampah di sungai. Agar rusunawa tetap terjaga kebersihannya, maka
sarana pembuangan sampah harus
diperhitungkan dalam perencanaan dan perancangan rusunawa terkait dengan
kesehatan lingkungan.
5.
Jaringan
Listrik
Pada
lingkungan rusunawa pasokan listrik diperhitungkan dengan standar minimal 450
VA per hunian.
Pembangunan
Rusunawa/ Rumah Susun Sederhana Sewa
bertujuan menyediakan rumah layak huni bagi seluruh keluarga Indonesia,
khususnya MBR yang belum mempunyai kemampuan untuk meemnuhi kebutuhan rumahnya
melalui kepemilikan, dengan target 2010-1014 sebanyak 380 TB, dan pembangunan
yang telah terlaksana sebanyak 49 TB pada tahun 2010 dan 143 TB 2011 pada tahun
2011.
Pembangunan
Rusunawa salah satunya dapat dilakukan dengan pola Unit Pelaksana Teknis (UPT)
yang didasarkan pada kemampuan atau besarnya penghasilan penghuni, bagi
masyarakat berpenghasilan rendah dengan pendapatan maximum sebesar upah minimum
kabupaten/kota (UMK) diarahkan oleh Pemerintah melalui APBN/ APBD yang tidak
mengharapkan pengembalian investasi.
B. Kendala-kendala
dalam Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa
Pengadaan
perumahan di perkotaan dalam jumlah besar bagi masyarakat berpenghasilan rendah
di negara-negara berkembang merupakan persoalan yang cukup kompleks dan
menghadapi banyak kendala. Menurut Bambang Panudju dalam bukunya yang
berjudul ”Pengadaan Perumahan Kota
dengan Peran Serta Masyarakat Berpenghasilan Rendah”, yang dikutip oleh R. Lisa
Suryani dan Amy Marisa, kendala-kendala secara garis besar adalah sebagai
berikut: [4]
1.
Kendala
pembiayaan.
Hampir seluruh negara berkembang memiliki kemampuan ekonomi nasional
yang rendah atau sangat rendah. Sebagian besar anggaran biaya pemerintah yang
tersedia untuk pembangunan dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan yang menunjang
perbaikan ekonomi seperti industri, pertanian, pengadaan infrastruktur,
pendidikan. Dan sebagainya. Anggaran pemerintah untuk pengadaan perumahan menempati prioritas yang rendah
sehingga setelah dipakai untuk membayar makanan, pakaian, keperluan sehari-hari
dan lainlain, hanya sedikit sekali yang tersisa untuk keperluan rumah.
Sementara itu harga rumah terus meningkat sehingga pendapatan penduduk semakin
jauh di bawah harga rumah yang termurah sekalipun.
2.
Kendala
ketersediaan dan harga lahan.
Lahan untuk perumahan semakin sulit di
dapat dan semakin mahal, di luar jangkauan sebagian besar anggota
masyarakat. Meskipun kebutuhan lahan sangat mendesak, terutama untuk pengadaan
perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, usaha-usaha positif dari pihak
pemerintah di negaranegara berkembang untuk mengatasi masalah tersebut belum
terlihat nyata. Mereka cenderung menolak kenyataan bahwa masyarakat
berpenghasilan rendah memerlukan lahan untuk perumahan dalam kota dan
mengusahakan lahan untuk kepentingan mereka.
3.
Kendala
ketersediaan prasarana untuk perumahan.
Ketersediaan prasarana untuk perumahan seperti jaringan air minum, pembuangan
air limbah, pembuangan sampah dan transportasi yang merupakan persyaratan penting
bagi pembangunan perumahan. Kurangnya pengembangan prasaranan, terutama jalan
dan air merupakan salah satu penyebab utama sulitnya pengadaan lahan untuk
perumahan di daerah perkotaan.
4.
Kendala
bahan bangunan dan peraturan bangunan.
Banyak negara berkembang belum mampu memproduksi bahan-bahan bangunan tertentu seperti semen, paku, seng
gelombang , dan lain-lain. Barang-barang tersebut masih perlu diimpor dari luar
negeri sehingga harganya berada di luar jangkauan sebagian besar anggota masyarakat. Selain itu, banyak standar dan
peraturan-peraturan bangunan nasional di negara-negara berkembang yang meniru
negara-negara maju seperti Inggris, Jerman, atau Amerika Serikat yang tidak sesuai dan terlalu tinggi
standarnya bagi masyarakat negara-negara berkembang. Kedua hal tersebut
menyebabkanvpengadaan rumah bagi atau oleh masyarakat berpenghasilan rendah
sulit untuk dilaksanakan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dan penelitian sebagaimana telah di uraiakan
pada bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa dalam melakukan pembangunan rumah susun sederhana sewa
(rusunawa) harus memperhatikan beberapa aspek, yakni :
1.
Aspek
Kontribusi Calon Penghuni
Dalam menentukan lokasi pemukiman kumuh yang akan
diremajakan, disamping harus sesuai dengan Pola Dasar Rencana Pembangunan
Daerah dan/atau Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK), perlu ada pendekatan
kepada masyarakat setempat agar masyarakat berperan secara aktif dalam proses
peremajaan tersebut.
2.
Aspek
Keselamatan
Pembangunan Rumah Susun Sederhana Bertingkat Tinggi
menyebutkan struktur bangunan rumah susun sederhana bertingkat tinggi harus
direncanakan secara terinci sehingga pada kondisi pembebanan maksimum yang
direncanakan, apabila terjadi keruntuhan kondisi strukturnya masih memungkinkan
penghuni menyelamatkan diri.
3.
Aspek
Iklim
4.
Aspek
Budaya
Rumah adalah suatu lembaga bukan hanya struktur, yang
dibuat untuk berbagai tujuan yang kompleks. Karena membangun suatu rumah
merupakan suatu gejala budaya, maka bentuk dan pengaturan ini sangat dipengaruhi
oleh budaya lingkungan pergaulan dimana bangunan tersebut berada.
7.
Aspek
Keterjangkauan
Penetapan tarif rusunawa harus terjangkau oleh
masyarakat menengah bawah khususnya MBR dengan besaran tarif tidak lebih besar
1/3 dari penghasilan, sedangkan kriteri besaran
tarif ditetapkan dengan diferensiasi dan subsidi silang antar kelompok tarif penghuni.
5.
Ketersediaan
Sarana dan Prasarana
Perumahan bukan merupakan tempat perlindungan atau
hanya fasilitas rumah tangga saja, tetapi terdiri dari sejumlah fasilitas,
servis, dan utilitas yang menghubungkan individu dengan keluarganya untuk
berkumpul dan bermasyarakat pada daerah yang tumbuh dan berkembang.
B. Saran
a.
Diharapkan
pada masa yang akan datang baik pemerintah maupun perusahaan swasta dalam
melakukan pembangunan Rusunawa dapat terlebih dahulu memperhatikan aspek-aspek
dalam pembangunan.
b.
Diharapkan
juga pembangunan Rusunawa akan lebih efketif dan efisien baik bagi pemerintah
maupun masyarakat.
[1]Erwin Kallo, Panduan Hukum Untuk Pemilik/Penghuni
Rumah Susun, (Jakarta : Minerva Athena Pressindo, 2009), hlm. 28.
[3]Anwar Hamid dan Happy Santosa, Kriteria Rusunawa untuk Pemukiman
Kembali (Resettlement) Masyarakat Tepian Sungai Desa Batu Merah, Kota Ambon,
dalam Seminar Nasional Pascasarjana X – ITS, Surabaya 4 Agustus 2010
[4] R. Lisa Suryani dan Amy Marisa,
“Aspek-aspek yang mempengaruhi Masalah Permukiman di perkotaan”, www.usu.ac.id.,
diakses pada tanggal 23 Maret 2012