Kamis, 08 November 2012

ASPEK-ASPEK DALAM PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA (RUSUNAWA) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN


BAB I
PENDAHUL UAN
A.     Latar Belakang
Salah satu cita-cita perjuangan bangsa Indonesia adalah terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, seiring dengan tujuan pembangunan nasional adalah mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh rakyat Indonesia secara adil dan merata. Salah satu unsur pokok kesejahteraan rakyat adalah terpenuhinya kebutuhan perumahan, yang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap warga negara Indonesia dan keluarganya, sesuai harkat dan martabatnya sebagai manusia.[1] Perumahan sangat berpengaruh dalam pembentukan kepribadian bangsa. Perumahan tidak hanya dilihat sebagai sarana kebutuhan hidup, tetapi perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, yang berfungsi dalam mendukung terselenggaranya pendidikan, keluarga, persemaian budaya, peningkatan kualitas generasi yang akan datang dan berjati diri serta  menciptakan tatanan hidup yang baik di dalam masyarakat.
Di Indonesia, kebutuhan terhadap perumahan juga telah mengalami peningkatan, sebagaimana yang terjadi pada masyarakat dunia, terutama pada masyarakat perkotaan, di mana populasi penduduknya sangat besar, sehingga memaksa pemerintah maupun swasta untuk melaksanakan pembangunan, terutama di bidang perumahan. Pembangunan perumahan merupakan salah satu hal penting dalam strategi pengembangan wilayah, yang menyangkut aspek-aspek yang luas di bidang kependudukan, dan berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi dan kehidupan sosial dalam rangka pemantapan ketahanan nasional. Terkait hal tersebut maka pembangunan perumahan dan pemukiman sebagaimana yang tertuang ditujukan untuk ;[2]
1.      Memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
2.      Mewujudkan pemukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, teratur.
3.      Memberi arah pada pertumbuhan wilayah dan persebaran penduduk yang rasional.
4.      Menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya dan bidang lainnya.
Dengan demikian sasaran pembangunan perumahan dan pemukiman adalah untuk menciptakan lingkungan dan ruang hidup manusia yang sesuai dengan kebutuhan hidup yang hakiki, yaitu agar terpenuhinya kebutuhan akan keamanan, perlindungan, ketenangan, pengembangan diri, kesehatan dan keindahan serta kebutuhan lainnya dalam pelestarian hidup manusiawi.
Untuk memenuhi kebutuhan rakyat akan perumahan dan pemukiman yang dapat terjangkau oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah dan/ atau untuk memenuhi tuntutan atau pemenuhan pola hidup modern berupa bangunan pasar modern dan pemukiman modern, pemerintah selalu dihadapkan pada permasalahan keterbatasan luas tanah yang tersedia untuk pembangunan terutama di daerah perkotaan yang berpenduduk padat. Demi meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah yang jumlahnya terbatas tersebut, terutama bagi pembangunan perumahan dan pemukiman, serta mengefektifkan penggunaan tanah terutama di daerah-daerah yang berpenduduk padat, maka perlu adanya pengaturan, penatan dan penggunaan atas tanah, sehingga bermanfaat bagi masyarakat banyak. Apalagi jika di hubungkan dengan hak asasi, maka tempat tinggal (perumahan dan pemukiman) merupakan hak bagi  setiap warga Negara, sebagaimana diatur dalam pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi : “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak  memperoleh layanan kesehatan.”
Dan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman pada Pasal 5 Ayat 1 yang berbunyi: “Setiap  warga  Negara  mempunyai  hak  untuk  menempati  dan/atau menikmati  dan/atau  memiliki  rumah  rumah  yang  layak  dalam  lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur.”
Pembangunan rumah susun adalah suatu cara yang jitu untuk memecahkan masalah kebutuhan dari pemukiman dan perumahan pada lokasi yang padat, terutama pada daerah perkotaan yang jumlah penduduk selalu meningkat, sedangkan tanah kian lama kian terbatas serta sebagai upaya pemerintah guna memnuhi masyarakat perkotaan akan papan yang layak dalam lingkungan yang  sehat. Pembangunan rumah susun tentunya juga dapat mengakibatkan terbukanya ruang kota sehingga menjadi lebih lega dan dalam hal ini juga membantu adanya peremajaan dari kota, sehingga makin hari maka daerah kumuh berkurang dan selanjutnya menjadi daerah yang rapih, bersih, dan teratur. Pengertian rumah susun menurut UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun) adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam  bagianbagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama,  benda bersama, dan tanah bersama.
Rumah susun tersebut terdiri dari dua bagian yaitu rumah susun sederhana milik dan rumah susun sederhana sewa. Praktek di masyarakat, banyak masyarakat yang masih belum mampu membuat rumah sendiri, sehingga pemerintah mendirikan rumah susun bagi masyarakat yang belum mampu memiliki rumah sendiri dengan cara menyewakannya. Menyewa rumah tentu saja memiliki keterbatasan-keterbatasan dan laranganlarangan, terutama terbatas waktu yang harus dipenuhi oleh calon penyewa atau penghuninya dan adanya hak dan kewajiban masing-masing apabila penghuni tersebut tidak memenuhi peraturan tersebut maka pihak pengelola akan memberikan sanksi.
Masyarakat yang ingin tinggal di rumah susun sewa terlebih dahulu harus membicarakan dengan pihak pengelola atau dalam hal ini diperlukan adanya perjanjian sewa-menyewa rumah tinggal antara pihak penyewa dengan pihak yang menyewakan. Pihak yang menyewakan tidak diwajibkan menjamin si penyewa terhadap rintangan-rintangan dalam penggunaan dan kenikmatannya yang diperoleh atau dilakukan oleh orang-orang pihak ke tiga atau adanya peristiwa-peristiwa tanpa mengajukan suatu hak atas penyewa untuk melakukan tuntutan atas penyimpangan perjanjian sewa-menyewa rumah. Gangguan gangguan dengan peristiwa-peristiwa itu harus ditanggulangi oleh si penyewa. Sipenyewa terikat dengan kewajiban melakukan pembetulan-pembetulan kecil apabila selama disewa mengalami kerusakan.
Berdasarkan  uraian diatas, maka penulis tertarik untuk membuat karya tulis dalam bentuk makalah dengan judul ASPEK-ASPEK DALAM PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA (RUSUNAWA) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN.

B.     Perumusan Masalah
1.      Apakah aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa)?
2.      Apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa)?

C.     Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui aspek-aspek dalam pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa).
2.      Untuk mengetahui kendala-kendala dalam pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa).










BAB II
PEMBAHASAN
A.     Aspek-aspek dalam pembangunan Rumah Susun Sedehana Sewa
Rusunawa, adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masingmasing digunakan secara terpisah, status penguasaannya sewa serta dibangun dengan menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dengan fungsi utamanya sebagai hunian. Rusunawa dapat diartikan sebagai berikut, bangunan gedung bertingkat yang dibangun di suatu lingkungan baik dalam arah horisontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang digunakan secara terpisah, status penguasaannya sewa dengan fungsi utamanya sebagai hunian.
Aspek-aspek dalam pembangungan Rusunawa antara lain:[3]
1.      Aspek Kontribusi Calon Penghuni
Dalam Inpres nomor 05/1990 tentang Peremajaan Pemukiman Kumuh di atas Tanah Negara, disebutkan bahwa dalam menentukan lokasi pemukiman kumuh yang akan diremajakan, disamping harus sesuai dengan Pola Dasar Rencana Pembangunan Daerah dan/atau Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK), perlu ada pendekatan kepada masyarakat setempat agar masyarakat berperan secara aktif dalam proses peremajaan tersebut. Sedangkan dalam  Kepmenpera nomor 06/KPTS/1994 tentang Pedoman Umum Pembangunan Perumahan Bertumpu Pada Kelompok, disebutkan bahwa  pembangunan perumahan yang bertumpu pada masyarakat adalah pola pembangunan yang mendudukan masyarakat (individu/kelompok) sebagai pelaku utama dan penentu dimana semua keputusan dan tindakan pembangunan didasarkan pada aspirasi masyarakat, kepentingan masyarakat, Kemampuan masyarakat, Upaya masyarakat.
2.      Aspek Keselamatan
Lampiran Menteri Pekerjaan Umum nomor 05/PRT/M/2007 tentang Pedoman  Teknis Pembangunan Rumah Susun Sederhana Bertingkat Tinggi menyebutkan struktur bangunan rumah susun sederhana bertingkat tinggi harus direncanakan secara terinci sehingga pada kondisi pembebanan maksimum yang direncanakan, apabila terjadi keruntuhan kondisi strukturnya masih memungkinkan penghuni menyelamatkan diri. Rumah merupakan wadah/penampungan yang tujuan utamanya adalah meneduhi dan melindungi penghuni dan isinya.
3.      Aspek Iklim
Di dalam lampiran Menteri Pekerjaan Umum nomor 05/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Susun Sederhana Bertingkat Tinggi dikatakan sebagai berikut:
a.       Ventilasi Alami
Bangunan rusuna bertingkat tinggi harus mempunyai bukaan permanen, kisi-kisi pada pintu dan jendela dan/atau bukaan permanen yang  dapat dibuka untuk kepentingan ventilasi alami.
b.      Pencahayaan Alami
Bangunan rusuna bertingkat tinggi harus mempunyai bukaan untuk pencahayaan alami yang optimal, disesuaikan dengan fungsi bangunan hunian dan fungsi masing-masing ruang di dalamnya. Pembangunan perumahan sangat berkaitan dengan iklim dimana bangunan tersebut dibangun.
4.      Aspek Budaya
Rumah adalah suatu lembaga bukan hanya struktur, yang dibuat untuk berbagai tujuan yang kompleks. Karena membangun suatu rumah merupakan suatu gejala budaya, maka bentuk dan pengaturan ini sangat dipengaruhi oleh budaya lingkungan pergaulan dimana bangunan tersebut berada.
5.      Aspek Keterjangkauan
Sesuai PERMENPERA omor 18/PERMEN/M/2007 menyebutkan kriteria  penetapan tarif rusunawa harus terjangkau oleh masyarakat menengah bawah khususnya MBR dengan besaran tarif tidak lebih besar 1/3 dari penghasilan, sedangkan kriteri besaran  tarif  ditetapkan dengan  diferensiasi dan  subsidi silang antar kelompok tarif penghuni. Menurut  Turner,  permintaan efektif bila rumah tangga memiliki akses pilihan yang nyata dan seimbang antara harga dan pendapatan. Suatu keluarga dikatakan mampu membayar sewa rumah (ataupun angsuran sewa beli) jika persentase pengeluaran untuk sewa rumah ditambah biaya utilitas  dasar, pajak dan asuransi adalah 20 sampai dengan 30% dari total pendapatan.
6.      Ketersediaan Sarana dan Prasarana
Perumahan bukan merupakan tempat perlindungan atau hanya fasilitas rumah tangga saja, tetapi terdiri dari sejumlah fasilitas, servis, dan utilitas yang menghubungkan individu dengan keluarganya untuk berkumpul dan bermasyarakat pada daerah yang tumbuh dan berkembang.

Kriteria Rusunawa yang Sesuai untuk Permukiman Kembali (Resettlement), antara lain:
a.       Alasan utama masyarakat tinggal, yaitu karena dekat dengan tempat kerja. Lokasi hunian yang dekat dengan tempat kerja membuat  penyewa lebih  memilih berjalan kaki ke lokasi kerja. Hal ini dilakukan untuk menghemat pengeluaran. Dengan melihat kondisi ini, maka penempatan lokasi rusunawa harus berada dalam radius jangkauan pejalan kaki menuju tempat kerja dan tempat melakukan aktifitas harian.
b.      Dalam menentukan luas hunian sebaiknya menggunakan luas hunian  tempat asal sebagai luas minimum. Atau menggunakan standar luas Pusdiklat 7,2 m2/org atau standar Kepmen PU 9m2/org. Untuk mengatasi keberagaman luas hunian maka sebaiknya menggunakan modul fleksibel (kelipatan 3). Hunian perlu dilengkapi dengan fasilitas pribadi berupa ruang tidur, km/wc dan dapur.
c.       Tingkat interaksi antar warga Rusunawa yang sangat tinggi.
Untuk mengakomodasi kebiasaan ini, maka bentuk koridor yang bisa  digunakan adalah koridor tengah. Koridor ini harus di bangun di semua lantai tingkatannya agar proses interaksi secara horisontal tetap terjaga. Lebar koridor tengah yang dapat diterapkan adalah 2,4 m (20% dari luas keseluruhan sarusunawa di masing-masing lantai). Sedangkan akses secara vertikal yaitu tangga yang berfungsi tidak hanya mempermudah penghuni  berpindah dari lantai satu ke lantai lainnya (sebagai akses keluar-masuk) dengan berjalan kaki, tapi juga berfungsi sebagai tempat interaksi penghuni secara vertikal maupun horisontal. Untuk itu lebar tangga minimal dapat memuat 2 orang. Lebar tangga yang disyaratkan minimal 1,20 m. Di setiap lantai perlu juga disediakan ruang bersama, sebagai tempat sosialisasi.
d.      Kondisi permukiman di lokasi penelitian, menunjukan semua hunian  memiliki ventilasi. Untuk itu penghawaan di rusunawa harus memiliki bukaan permanen yang cukup besar menghadap arah ruang terbuka dan teras. Bukaan permanen udara paling sedikit adalah 5% dari luas lantai sarusunawa. Untuk penerangan alami, perlu penyediaan jendela-jendela yang besarnya cukup. Luas jendela paling sedikit 15% dari luas lantai sarusuna untuk menerangi ruang-ruang yang ada di dalamnya. Orientasi jendela dan ventilasi harus sama.
e.       Jika dilihat penghasilan rata-rata, maka masyarakat  pengguna rusunawa adalah mereka yang  dikelompokkan ke dalam masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Untuk itu biaya sewa satuan rusunawa untuk setiap keluarga adalah maksimal sekitar 1/3 bagian dari pendapatan per bulan.
f.        Dalam suatu lingkungan rusunawa harus tersedia prasarana untuk
memberikan kemudahan bagi penghuni. Prasarana-prasarana yang harus disediakan antara lain berupa :
1.      Jalan
Klasifikasi jalan pada lingkungan rusunawa perlu disesuaikan dengan lokasi dimana rusunawa itu dibangun.
2.      Air Minum
Lingkungan rusunawa ini harus menyediakan sumber air bersih bagi penghuninya. Sumber air bersih ini sedapat mungkin disediakan per unit atau per lantai dan tidak secara sentral untuk seluruh area rusunawa. Kebutuhan air bersih dari tiap rumah tangga yaitu 100 liter/hari untuk setiap anggota keluarga, dengan kualitas jernih, tidak berasa dan tidak berbau.

3.      Air Limbah
Lingkungan rusunawa harus memiliki sarana pengolahan air limbah, baik yang berasal dari air bekas cucian, mandi ataupun kakus. Karena rusunawa memiliki fungsi yang hampir sama dengan perumahan, maka air limbah rumah tangga pengelolaannya cukup dengan menyediakan septic tank dan sumur resapan.
4.      Pembuangan Sampah
Dari hasil pengamatan, salah satu kebiasaan masyarakat tepian sungai adalah membuang sampah di sungai. Agar rusunawa tetap terjaga kebersihannya, maka sarana  pembuangan sampah harus diperhitungkan dalam perencanaan dan perancangan rusunawa terkait dengan kesehatan lingkungan.
5.      Jaringan Listrik
Pada lingkungan rusunawa pasokan listrik diperhitungkan dengan standar minimal 450 VA per hunian.
Pembangunan Rusunawa/ Rumah Susun  Sederhana Sewa bertujuan menyediakan rumah layak huni bagi seluruh keluarga Indonesia, khususnya MBR yang belum mempunyai kemampuan untuk meemnuhi kebutuhan rumahnya melalui kepemilikan, dengan target 2010-1014 sebanyak 380 TB, dan pembangunan yang telah terlaksana sebanyak 49 TB pada tahun 2010 dan 143 TB 2011 pada tahun 2011.
Pembangunan Rusunawa salah satunya dapat dilakukan dengan pola Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang didasarkan pada kemampuan atau besarnya penghasilan penghuni, bagi masyarakat berpenghasilan rendah dengan pendapatan maximum sebesar upah minimum kabupaten/kota (UMK) diarahkan oleh Pemerintah melalui APBN/ APBD yang tidak mengharapkan pengembalian investasi.
B.     Kendala-kendala dalam Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa
Pengadaan perumahan di perkotaan dalam jumlah besar bagi masyarakat berpenghasilan rendah di negara-negara berkembang merupakan persoalan yang cukup kompleks dan menghadapi banyak kendala. Menurut Bambang Panudju dalam bukunya yang berjudul  ”Pengadaan Perumahan Kota dengan Peran Serta Masyarakat Berpenghasilan Rendah”, yang dikutip oleh R. Lisa Suryani dan Amy Marisa, kendala-kendala secara garis besar adalah sebagai berikut: [4]
1.      Kendala pembiayaan.
Hampir seluruh negara berkembang memiliki kemampuan ekonomi nasional yang rendah atau sangat rendah. Sebagian besar anggaran biaya pemerintah yang tersedia untuk pembangunan dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan yang menunjang perbaikan ekonomi seperti industri, pertanian, pengadaan infrastruktur, pendidikan. Dan sebagainya. Anggaran pemerintah untuk pengadaan  perumahan menempati prioritas yang rendah sehingga setelah dipakai untuk membayar makanan, pakaian, keperluan sehari-hari dan lainlain, hanya sedikit sekali yang tersisa untuk keperluan rumah. Sementara itu harga rumah terus meningkat sehingga pendapatan penduduk semakin jauh di bawah harga rumah yang termurah sekalipun.
2.      Kendala ketersediaan dan harga lahan.
Lahan untuk perumahan semakin sulit di  dapat dan semakin mahal, di luar jangkauan sebagian besar anggota masyarakat. Meskipun kebutuhan lahan sangat mendesak, terutama untuk pengadaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, usaha-usaha positif dari pihak pemerintah di negaranegara berkembang untuk mengatasi masalah tersebut belum terlihat nyata. Mereka cenderung menolak kenyataan bahwa masyarakat berpenghasilan rendah memerlukan lahan untuk perumahan dalam kota dan mengusahakan lahan untuk kepentingan mereka.
3.      Kendala ketersediaan prasarana untuk perumahan.
Ketersediaan prasarana untuk perumahan seperti jaringan air minum, pembuangan air limbah, pembuangan sampah dan transportasi yang merupakan persyaratan penting bagi pembangunan perumahan. Kurangnya pengembangan prasaranan, terutama jalan dan air merupakan salah satu penyebab utama sulitnya pengadaan lahan untuk perumahan di daerah perkotaan.
4.      Kendala bahan bangunan dan peraturan bangunan.
Banyak negara berkembang belum mampu memproduksi bahan-bahan  bangunan tertentu seperti semen, paku, seng gelombang , dan lain-lain. Barang-barang tersebut masih perlu diimpor dari luar negeri sehingga harganya berada di luar jangkauan sebagian besar anggota  masyarakat. Selain itu, banyak standar dan peraturan-peraturan bangunan nasional di negara-negara berkembang yang meniru negara-negara maju seperti Inggris, Jerman, atau Amerika Serikat yang tidak sesuai dan terlalu tinggi standarnya bagi masyarakat negara-negara berkembang. Kedua hal tersebut menyebabkanvpengadaan rumah bagi atau oleh masyarakat berpenghasilan rendah sulit untuk dilaksanakan.





BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dan penelitian sebagaimana telah di uraiakan pada bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa dalam melakukan pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) harus memperhatikan beberapa aspek, yakni :
1.      Aspek Kontribusi Calon Penghuni
Dalam menentukan lokasi pemukiman kumuh yang akan diremajakan, disamping harus sesuai dengan Pola Dasar Rencana Pembangunan Daerah dan/atau Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK), perlu ada pendekatan kepada masyarakat setempat agar masyarakat berperan secara aktif dalam proses peremajaan tersebut.
2.      Aspek Keselamatan
Pembangunan Rumah Susun Sederhana Bertingkat Tinggi menyebutkan struktur bangunan rumah susun sederhana bertingkat tinggi harus direncanakan secara terinci sehingga pada kondisi pembebanan maksimum yang direncanakan, apabila terjadi keruntuhan kondisi strukturnya masih memungkinkan penghuni menyelamatkan diri.
3.      Aspek Iklim
4.      Aspek Budaya
Rumah adalah suatu lembaga bukan hanya struktur, yang dibuat untuk berbagai tujuan yang kompleks. Karena membangun suatu rumah merupakan suatu gejala budaya, maka bentuk dan pengaturan ini sangat dipengaruhi oleh budaya lingkungan pergaulan dimana bangunan tersebut berada.
7.      Aspek Keterjangkauan
Penetapan tarif rusunawa harus terjangkau oleh masyarakat menengah bawah khususnya MBR dengan besaran tarif tidak lebih besar 1/3 dari penghasilan, sedangkan kriteri besaran  tarif  ditetapkan dengan  diferensiasi dan  subsidi silang antar kelompok tarif penghuni.
5.      Ketersediaan Sarana dan Prasarana
Perumahan bukan merupakan tempat perlindungan atau hanya fasilitas rumah tangga saja, tetapi terdiri dari sejumlah fasilitas, servis, dan utilitas yang menghubungkan individu dengan keluarganya untuk berkumpul dan bermasyarakat pada daerah yang tumbuh dan berkembang.

B.     Saran
a.       Diharapkan pada masa yang akan datang baik pemerintah maupun perusahaan swasta dalam melakukan pembangunan Rusunawa dapat terlebih dahulu memperhatikan aspek-aspek dalam pembangunan.
b.      Diharapkan juga pembangunan Rusunawa akan lebih efketif dan efisien baik bagi pemerintah maupun masyarakat.


[1]Erwin Kallo, Panduan Hukum Untuk Pemilik/Penghuni Rumah Susun, (Jakarta : Minerva Athena Pressindo, 2009), hlm. 28.  
[2] Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992
[3]Anwar Hamid dan  Happy  Santosa, Kriteria Rusunawa untuk Pemukiman Kembali (Resettlement) Masyarakat Tepian Sungai Desa Batu Merah, Kota Ambon, dalam Seminar Nasional Pascasarjana X – ITS, Surabaya 4 Agustus 2010
[4] R. Lisa Suryani dan Amy Marisa, “Aspek-aspek yang mempengaruhi Masalah Permukiman di perkotaan”, www.usu.ac.id., diakses  pada tanggal 23 Maret 2012

ASPEK-ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

A.     ASPEK KEPERDATAAN
Kaedah-kaedah hukum perdata umumnya termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum PERDATA (KUH Perdata). Disamping itu tentu saja juga kaedah-kaedah hukum perdata adat yang tidak tertulis tetapi ditunjuk oleh pengadilan-pengadilan dalam perkara-perkara tertentu.
Kaedah-kaedah hukum yang mengatur hubungan dan masalah hukumantara pelaku usaha penyedia barang dan atau penyelenggara jasa dengan konsumennya masing-masing termuat dalam :
1.      KUH Perdata, terutama dalam buku kedua, ketiga dan keempat;
2.      KUHD, buku kesatu dan buku kedua;
3.      Berbagai peraturan perundang-undangan lain yang memuat kaedah-kaedah hukum bersifat perdata tentang subjek-subjek hukum, hubungan hukum, dan masalah antara penyedia barang atau penyelenggara jasa tertentu dan konsumen.
Beberapa hal yang dinilai penting dalam hubungan konsumen dan penyedia barang dan atau penyelenggara jasa antara lain sebagai berikut :
1.      Hal-hal yang Berkaitan dengan Informasi
Bagi konsumen, informasi tentang barang dan atau jasa merupakan kebutuhan pokok, sebelum ia menggunakan sumber dananya (gaji, upah, honor atau apapun nama lainnya) untuk mengadakan transaksi konsumen tentang barang atau jasa tersebut. Dengan traksaksi konsumen dimaksudkan diadakannya hubungan hukum (jual beli, beli sewa, sewa menyewa, pinjam meminjam, dsb) tentang produk konsumen dengan pelaku usaha itu.
Informasi-informasi tersebut meliputi tentang ketersediaan barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat konsumen, tentang kualitas produk, keamanannya, harga, tentang berbagai persyaratan dan atau cara memperolehnya, tentang jaminan atau garansi produk, persediaan suku cadang, tersedianya pelayanan jasa purna jual, dan lain-lain yang berkaitan dengan itu.
Informasi dari kalangan pemerintah dapat diserap dari berbagai penjelasan, siaran, keterangan, penyusun peraturan perundang-undangan secara umum atau dalam rangka deregulasi, dan/atau tindakan pemerintah pada umumnya atau tentang sesuatu produk konsumen. Dari sudut penyusunan peraturan perundang-undangan terlihat informasi itu termuat sebagai suatu keharusan. Beberapa di antaranya, ditetapkan harus dibuat, baik secara dicantumkan pada maupun dimuat di dalam wadah atau pembungkusnya ( antara lain label dari produk makanan dalam kemasan ). Sedang untuk produk hasil industry lainnya, informasi tentang produk itu terdapat dalam bentuk standar yang ditetapkan oleh pemerintah, standar internasional, atau standar lain yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang.
Informasi dari konsumen atau organisasi konsumen tampak pada pembicaraan dari mulut ke mulut tentang suatu produk konsumen, surat-surat pembaca pada media massa, berbagai siaran kelompok tertentu, tanggapan atau protes organisasi konsumen menyangkut sesuatu produk konsumen.

2.      Beberapa Bentuk Informasi
Diantara berbagai informasi tentang atau jasa konsumen yang diperlukan konsumen , tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang bersumber dari kalangan pelaku usaha. Terutama dalam bentuk iklan atau label, tanpa mengurangi pengaruh dari berbagai bentuk informasi pengusaha lainnya.
Iklan adalah bentuk informasi yang umumnya bersifat sukarela, sekalipun pada akhir-akhir ini termasuk juga yang diatur di dalam Undang-undang tentang perlindungan konsumen.
a.       Tentang Iklan
Menurut ketentuan dari UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 9 ayat (1) berbunyi :
Pelaku Usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/ atau jasa secara tidak benar dan/atau seolah-olah… dan seterusnya.
Sayangnya dalam undang-undang ini tidak dicantumkan apa yang dimaksud dengan iklan. Yang terdapat dalam perundang-undangan ini hanyalah berbagai larangan dan suruhan berkaitan dengan periklanan saja.
      Dari hal-hal terurai diatas tentang kedudukan periklanan dalam masyarakat usaha, setidak-tidaknya terdapat dua batasan iklan, yang satu ditetapkan oleh Departemen Kesehatan yang lainnya oleh sistem penyiaran nasional.
Kedua batasan iklan tersebut berjalan bersama masing-masing untuk bidang masing-masing. Sampai saat ini tidak terdapat gangguanapapun baik terhadap masyarakat pembuat maupun pengguna produk konsumen yang diiklankan berdasarkan masing-masing rumusan yang bersangkutan. Bagi konsumen informasi produk konsumen sangat menentukan sehingga haruslah informasi itu memuat keterangan yang benar, jelas, jujur, dan bertanggung jawab.
Mengenai perilaku periklanan yang lengkap diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, adalah sebagai berikut:
1)      Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
a)      mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan  harga barang dan/atau tariff jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b)      Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c)      Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
d)      Tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang dan/atau jasa;
e)      Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizing yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
f)        Melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
2)      Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1).
Selanjutnya,  berkaitan dengan tanggung jawab pelaku usaha periklanan ini diatur dalam Pasal 20, sebagai berikut Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
b.      Tentang label
Informasi produk konsumen yang bersifat wajib ini, ditetapkan dalam berbagi peraturan perundang-undangan. Pengaturan tentang informasi yang disebut dengan berbagai istilah seperti penandaan, label, atau etiket. Ketentuan tersebut terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
1.      UU Barang, UU No.10 Tahun 1961, memberikan informasi tentang barang, Pasal 2 ayat (4) UU ini menentukan :
Pemberian nama dan/atau tanda-tanda yang menunjukkan asal, sifat, susunan bahan, bentuk banyaknya dan/atau kegunaan barang-barang yang baik diharuskan maupun tidak diperbolehkan dibubuhkan atau dilekatkan pada barang pembungkusnya, tempat barang-barang itu diperdagangkan dan alat-alat reklame, pun cara pembubuhan atau melekatkan nama dan/atau tanda-tanda itu.
2.      Baik produk makanan, maupun obat diwajibkan mencantumkan label pada wadah atau pembungkusnya. Permenkes No.79 Tahun 1978 tentang Label dan Periklanan Makanan, Pasal 1 angka 2, menyebutkan :
Etiket adalah label yang dilekatkan, dicetak, diukir atau dicantumkan dengan jalan apa pun pada wadah atau pembungkus.

c.       Hal-hal yang Berkaitan dengan Perikatan
Dalam KUHPerdata Buku ke-III tentang perikatan (Van Verbintenissen), termuat ketentuan-ketentuan tentang subjek-subjek hukum dari perikatan, syarat-syarat perikatan, tentang risiko jenis-jenis perikatan tertentu, syarat-syarat pembatalannya, dan berbagai bentuk perikatan yang diadakan (Pasal 1233).
Perikatan yang terjadi karena undang-undang, dapat timbul karena undang-undang, baik karena undang-undang maupun sebagai akibat perbuatan seseorang. Perbuatan itu dapat berupa perbuatan yang diperbolehkan (halal) atau perbuatan yang melanggar hukum (Pasal 1352, 1353, dan seterusnya).

B.     ASPEK HUKUM PUBLIK
1.      Hukum Pidana
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak disebutkan kata “konsumen”.
Meskipun demikian, secara implicit dapat ditarik beberapa Pasal yang memberikan perlindungan hukum bagi konsumen, antara lain :
a.       Pasal 204 : Barangsiapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau mebagi-bagikan barang, yang diketahui bahwa membahayakan nyawa atau kesehatan orang, padahal sifat berbahaya itu tidak diberitahukan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
b.      Pasal 205 : Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan bahwa barang-barang yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang dijual, diserahkan atau dibagi-bagikan, tanpa diketahui sifat berbahayanya oleh yang membeli atau memperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
c.       Pasal 382 : Barangsiapa menjual, menawarkan  atau menyerahkan makanan, minuman atau obat-obatan yang diketahui bahwa itu palsu, dan menyembunyikan hal itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
d.      Dan lain-lain.
Diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat banyak sekali ketentuan pidana yang beraspekkan perlindungan konsumen. Lapangan pengaturan yang paling luas kaitannya dengan hukum perlindungan konsumen terdapat pada bidang kesehatan. Termasuk dalam kelompok ini adalah Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang pangan.
Selain itu juga dalam pengaturan hak-hak atas kekayaan intelektual, seperti hak cipta, paten, dan hak atas merek, dewasa ini diberi perhatian yang cukup besar, khususnya dari sudut penerapan sanksi pidananya. Tindak pidana berupa pembajakan hak cipta, misalnya sekarang diubah dari delik aduan menjadi delik biasa.
2.      Hukum Administrasi Negara
Sperti halnya hukum pidana, hukum administrasi Negara adalah instrument hukum publik yang penting dalam perlindungan konsumen. Sanksi-sanksi hukum secara perdata dan pidana seringkali kurang efektif jika tidak disertai saknsi administratif.
Sanksi administratif tidak ditujukan pada konsumen pada umumnya, tetapi justru kepada pengusaha, baik itu produsen maupun penyalur hasil-hasil produknya. Saknsi administratif berkaitan dengan perizinan yang diberikan. Jika terjadi pelanggaran, izin-izin itu dapat dicabut secara sepihak oleh Pemerintah.
Pencabutan izin hanya bertujuan menghentikan proses produksi dari produsen/penyalur. Produksi di sini harus diartikan secara luas, dapat berupa barang atau jasa. Dengan demikian, dampaknya secara tidak langsung berarti melindungi konsumen pula, yakni mencegah jatuhnya lebih banyak korban. Adapun pemulihan hak-hak korban (konsumen) yang dirugikan bukan lagi tugas instrument hukum administrasi Negara. Hak-hak konsumen yang dirugikan dapat dituntut dengan bantuan hukum perdata dan/atau pidana.
Sanksi administrative seringkali lebih efektif dibandingkan dengan sanksi perdata atau pidana, ada beberapa alasannya:
Pertama,  sanksi administratif dapat diterapkan secara langsung dan sepihak. Dikatakan demikian karena penguasa sebagai pihak pemberi izin tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu dari pihak manapun. Persetujuan, kalaupun itu dibutuhkan, mungkin dari instansi-instansi pemerintah terkait.
Kedua, sanksi perdata dan/atau pidana acapkali tidak membawa efek “jera” bagi pelakunya. Nilai ganti rugi dan pidana yang dijatuhkan mungkin tidak seberapa dibandingkan dengan keuntungan yang diraih dari perbuatan negative produsen.
Walaupun secara teoritis instrumen hukum administratif Negara ini cukup efektif, tetap ada kendala dalam penerapannya. Contohnya adalah ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup. Sanksi administratif terhadap perusahaan-perusahaan yang mencemari lingkungan masih teramat jarang dilakukan. Bahkan, untuk kasus-kasus tertentu, sperti pencemaran oleh PT. Inti Indorayon Sumatera Utar, Pemerintah masih mengandalkan inisiatif konsumen untuk mempersalahkannya. Pemerintah tampaknya menjadikan sanksi administratif ini sebagai ultimum remedium, karena dikaitkan dengan pertimbangan tenaga kerja dan perpajakan. Tentu saja, kedua pertimbangan tersebut seharusnya tidak menjadi alasan pemaaf bagi pengusaha yang merugikan konsumen tersebut, sepanjang memang didukung oleh bukti-bukti yang cukup.

3.      Hukum Transnasional
Sebutan “Hukum transnasional” mempunyai dua konotasi. Pertama, hukum transnasional yang berdimensi perdata, yang lazim disebut hukum perdata internasional. Kedua, hukum internasional yang berdimensi public, yang biasanya dikenal sebagai hukum internasional publik. Hukum perdata internasional sesungguhnya bukan hukum yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari hukum perdata nasional. Hukum perdata internasional hanya berisi petunjuk tentang hukum nasional mana yang akan diberlakukan jika terdapat kaitan lebih dari satu kepentingan hukum nasional. Melalui petunjuk inilah lalu ditentukan hukum atau pengadilan mana yang akan menyelesaikan perselisihan tersebut.
Hukum internasional (publik) sering dinilai sebagai instrument yang “mandul” dalam menangani banyak kasus hukum yang berdimensi lintas Negara. Kepentingan nasional masing-masing Negara kerapkali membuatnya harus menjadi “macan kertas” yang dengan sendirinya tidak bergigi dan tidak mempunyai kekuatan memaksa.
Maslah perlindungan konsumen merupakan salah satu bukti diantaranya. Gerakan ini memang berkembang pesat di berbagai penjuru dunia, namun intensitas gerakan tersebut tidka selalu sama pada tiap-tiap Negara. Kondisi suatu Negara sangat dominan menentukan seberapa jauh gerakan ini mendapat tempat di masyarakatnya.
Sumber terpenting dari hukum internasional adalah perjanjian antarnegara dan konvensi-konvensi internasional. Walaupun begitu, keberadaan sumber-sumber hukum internasional itu tetap tidak banyak artinya jika belum diratifikasi oleh Negara yang bersangkutan.

C.     PERANAN HUKUM DALAM PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pada era perdagangan bebas di mana arus barang dan jasa dapat masuk ke semua Negara denga bebas, maka yang seharusnya terjadi adalah persaingan jujur. Persaingan jujur adalah suatu persaingan di mana konsumen dapat memiliki barang atau jasa karena jaminan kualitas dengan harga yang wajar. Oleh karena itu, pola perlindungan konsumen perlu diarahkan pada pola kerja sama antarnegara, antarsemua pihak yang berkepentingan agar terciptanya suatu model perlindungan yang harmonis berdasarkan atas persaingan jujur.
Sampai saat ini secra universal diakui adanya hak-hak konsumen yang harus dilindungi dan dihormati, yaitu :
1.      Hak keamanan dan keselamatan ;
2.      Hak atas informasi;
3.      Hak untuk memilih;
4.      Hak untuk didengar, dan
5.      Hak atas lingkungan.
Aspek-aspek hukum terhadap perlindungan konsumen di dalam era pasar domestic dan dbebas, pada dasarnya dapat dikaji dari dua pendekatan, yakni dari sisi pasar dan dari sisi pasar global. Keduanya harus diawali dan sejak barang dan jasa diproduksi, didistribusikan/dipasarkan dan diedarkan samapi barang dan jasa tersebut dikonsumsi oleh konsumen.
Bertolak dari pemikiran di atas, pada dasarnya Negara dapat diketahui bahwa aspek hukum public dan aspek hukum perdata mempunyai peran dan kesempatan yang sama untuk melindungi kepentingan konsumen. Aspek hukum public berperan dan dapat dimanfaatkan oleh Negara, pemerintah instansi yang mempunyai peran dan kewenangan untuk melindungi konsumen.